Senin, 27 Februari 2012

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

I. DEFENISI SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.



Beberapa defenisi sosiologi pendidikan menurut beberapa ahli:

Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.

Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.

DAFTAR PUSTAKA

H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

(Sumber: http://muhammadaiz.wordpress.com/materi-sosiologi-pendidikan/)


Tambahan tentang definisi

E. George Payne, memberi kosepsi atau Pengertian Sosiologi Pendidikan bahwa “By educational sosiologi we mean the science which describes and explains the institutions, social groups, and social processes, that is the social relationship in which or trought ehich indivudual gains and organizes experience”. Payne menekankan bahwa di dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial, proses sosial, terdapat apa yang dinamakan social relationship, hubungan-hubungan sosial ataupun interaksi sosial.

Charlies A. Ellwood menjelaskan bahwa Sosiologi Pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari atau menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial.

Hal senada juga dikemukakan oleh E.B Reuter , yang mengatakan bahwa Sosiologi Pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisa evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia, dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian sosial dari tiap-tiap individu.

Sedangkan Dr. Elwood, memberikan Pengertian Sosiologi Pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang proses belajar dan mempelajari antara orang yang satu dengan orang yang lainnya,

(http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/11/pengertian-sosiologi-pendidikan.html)


II. Ciri, Tujuan dan Sejarah Sosiologi Pendidikan


Sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Sosiologi berasal dari kata “socius” yang berarti kawan atau teman dan “logis” yang berarti ilmu. Secara harfiah sosiologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang perkawanan atau pertemanan. Istilah sosiologi diperkenalkan pertama kali oleh August Comte (1798-1857) pada abad ke-19. istilah ini dipublikasikan melalui tulisannya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive”.

Sosiologi, oleh Comte dikatakan sebagai ilmu tentang masyarakat secara ilmiah (Faisal, tanpa tahun). Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang lahir pada saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Pitirim Sorokim (dalam Soekamto, 1999) menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai: pertama, hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, pendidikan dengan ekonomi, agama dengan pendidikan, pendidikan dan politik. Kedua, hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial, misalnya gejala biologis, geografis, iklim dan sebagainya. Ketiga, ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

Sosiologi dapat digolongkan pada salah satu bentuk ilmu pengetahuan (sosial) atau social science. Oleh karena itu, Sosiologi juga mempunyai beberapa unsur pokok yaitu :

Pengetahuan (knowledge)
Tersusun secara sistematis
Menggunakan pemikiran
Dapat dikontrol atau dikritisi oleh orang lain

Adapun ciri-ciri sosiologi sebagai suatu bentuk ilmu pengetahuan antara lain :

Sosiologi bersifat empiris
Sosiologi bersifat teoritis
Sosiologi bersifat kumulatif
Sosiologi bersifat nonetis

Namun ada karakteristik yang membedakan sosiologi dengan disiplin sosial yang lain, yaitu (Soekamto, 1999)

Sosiologi termasuk kelompok ilmu sosial, yaitu kelompok ilmu yang mempelajari peristiwa atau gejala-gejala sosial
Sosiologi bersifat kategoris yaitu tidak normatif, membicarakan obyeknya secara apa aqdanya (des sein) dan bukan bagaimana seharusnya (das sollen)
Sosiologi bersifat generalis, yaitu Sosiologi meneliti atau mencari prinsip atau hukum-hukum umum interaksi manusia
Sosiologi bersifat abstrak yaitu wujud kesatuannya yang bersifat umum atau terpisah-pisah
Sosiologi merupakan ilmu yang umum, yaitu mempelajari umum yang ada pada setiap interaksi umum. Yaitu mempelajari gejala-gejala yang khusus
Sosiologi termasuk ilmu murni yaitu tujuan penelitian Sosiologi semata-mata demi perkembangan ilmu itu sendiri bukan untuk kepentingan kehidupan praktis

Aplikasi Sosiologi yaitu Sosiologi pendidikan. Sosiologi merupakan sebuah disiplin yang dihasilkan dari “persilangan” antara ilmu pendidikan dengan Sosiologi. Sosiologi pendidikan merupakan salah satu cara Sosiologi memfokuskan kajiannya pada masalah pendidikan, baik secara umum maupun khusus.
Ada beberapa pengertian mengenai Sosiologi Pendidikan, diantaranya (Gunawan, 2000)

Menurut Dictionary of Sociolo, Sosiologi Pendidikan merupakan Sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental
Menurut Nasution, Sosiologi pendidikan merupakan ilmu untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik
Menurut FG Robbins, Sosiologi pendidikan merupakan Sosiologi khusus yang bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan
Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan merupakan studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi Sosiologi yang diterapkan.

Sejarah Perkembangan Sosiologi Pendidikan

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya , kenyataan sosial menunjukkan suatu perubahan yang terjadi begitu cepat dalam masyarakat. Perubahan sosial yang cepat tersebut terjadi di abad ke-19, sebagai akibat revolusi industri di Inggris. Akibat perubahan tersebut menurut Mc Kee (dalam Faisal, tanpa tahun) menyebabkan terjadinya apa yang dinamakian keterkejutan intelektual kelompok cerdik pandai yang salah satu diantaranya adalah para sosiolog.

Lester F. Ward dapat dikatakan sebagai pencetus gagasan timbulnya studi baru tentang Sosiologi Pendidikan. Gagasan tersebut muncul dengan idenya tentang evolusi sosial yang realistik dan memimpin perencanaan kehidupan pemerintahan (Vembriarto, 1993). John Dewey (1859-1952) secara formal dikenal sebagai tokoh pertama yang melihat hubungan antara pendidikan struktur masyarakat dari bentuk semulangan yang masih bersahaja. Secara formal, pada tahun 1910 Henry Suzzalo memberi kuliah Sosiologi Pendidikan di Teachers College University Columbia (Vembriarto, 1993). Pada tahun 1913, Emlie Durkheim telah memandang pendidikan sebagai suatu “social thing” (Ikhtiar sosial). Payne (1928) menjelaskan bahwa Sosiologi Pendidikan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi alat (mean) untuk mendeskripsikan dan menjelaskan institusi, kelompok sosial, dan proses sosial yang merupakan hubungan sosial di dalamnya individu memperoleh pengalaman yang terorganisasi.

Sosiologi Pendidikan di dalam menjalankan fungsinya untuk menelaah berbagai macam hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, harus memperhatikan sejumlah konsep-konsep umum. Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang masih muda dan belum banyak berkembang. Atas dasar tersebut dikalangan para ahli Sosiologi Pendidikan timbul beberapa kecendrungan yang berbeda yaitu :

Golongan yang terlalu menitikberatkan pandangan pendidikan daripada sosiologinya
Golongan Applied Educational (Sociology) terutama terdiri atas ahli-ahli sosiologi yang memberikan dasar pengertian sosial kultural untuk pendidikan
Golongan yang terutama menitikberatkan pandangan teoritik

Tujuan Sosiologi Pendidikan

Sosiologi Pendidikan dalam perkembangannya mempunyai beberapa tujuan praktis, diantaranya adalah :
Memberikan analisis terhadap pendidikan sebagai alat kemajuan sosial.
Merumuskan tujuan pendidikan
Sebagai sebuah bentuk aplikasi Sosiologi terhadap pendidikan
Menjelaskan proses pendidikan sebagai proses sosialisasi
Memberikan pengajaran Sosiologi bagi tenaga-tenaga kependidikan dan penelitian pendidikan
Menjelaskan peranan pendidikan di masyarakat
Menjelaskan pola interaksi di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat

(Sumber : http://unsilster.com/2011/05/ciri-tujuan-dan-sejarah-sosiologi-pendidikan/)



III. KONTRIBUSI SOSIOLOGI TERHADAP PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa lepas dari kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan masyarakat meliputi berbagai kehidupan sosial. Diantaranya adalah kehidupan sosial keluarga, masyarakat sekitar, pendidikan, bisnis, politik dan lain sebagainya. Setiap kehidupan sosial tersebut juga saling berhubungan dan saling memberikan kontribusi satu sama lain.
Ilmu sosiologi sebagai ilmu yang membahas tentang kehidupan sosial manusia juga membahas bagaimana peranan atau kontribusi salah satu kehidupan sosial masyarakat terhadap sisi sosial yang lain. Dalam kajian pendidikan pembahasan tentang kontribusi sosiologi terhadap pendidikan menyajikan semacam-ancar-ancar bagi para praktisi pendidikan, yaitu mengenai beberapa kontribusi spesifik dari analisis sosiologi terhadap pendidikan. Pembahsannya terbatas pada suatu perangkat subtantif kontribusi sosiologi yang daripadanya para praktisi (seperti guru, penilik, kepala sekolah, atau pengawas) bisa mengambil manfaatnya secara lebih realistis dan efektif di dalam lingkungan pekerjaannya masing-masing.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kontribusi sosiologi terhadap sistem sekolah sebagai suatu organisasi?
2. Bagaimana kontribusi sosiologi terhadap kegiatan kelas sebagai suatu sistem sosial?
3. Bagaimana kontribusi sosiologi terhadap lingkungan eksternal sekolah?

C. Tujuan
1. Mengetahui kontribusi sosiologi terhadap sistem sekolah sebagai suatu organisasi
2. Mengetahui kontribusi sosiologi terhadap kegiatan kelas sebagai suatu sistem sosial
3. Mengetahui kontribusi sosiologi terhadap lingkungan eksternal sekolah
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kontribusi Sosiologi Terhadap Sistem Sekolah Sebagai Suatu Organisasi
Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan–kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu arah kehidupan di masa yang akan datang. Beberapa faktor telah melatarbelakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan di antaranya, (1) pertumbuhan jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam, (2) kompleksnya pranata kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan (3) implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional .
Secara singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganisasikan perangkat-perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga. Perlunya pihak lain yang secara khusus mengurusi organisasi dan apresiasi pengetahuan serta mengupayakan untuk ditransformasikan kepada para generasi muda agar terjamin kelestariaannya merupakan cetak biru kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara, keberadaan sekolah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern. Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan ikhtiar ilmiah untuk menentukan taraf evolusi perkembangan masyarakat manusia. Dimulai dari Auguste Comte (1798-1857) dengan karyanya yang berjudul “Course de philosophie Positive” (1844). Beliau menekankan hukum perkembangan masyarakat yang terdiri dari tiga jenjang, yaitu jenjang teologi dimana manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersifat adikodrati. Taraf perkembangan selanjutnya disusul pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk menangkap fenomena lingkungan dengan menyandarkan pada kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Hingga pada level tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai dengan prestasi kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam maupun sosial berdasar pada deskripsi ilmiah melalui pemahaman kekuasaan hukum objektif (Sunarto, 2000: 3). Dari pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya mampu ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara mantap melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern.
Di lain pihak, tak kalah pentingnya buah pikiran Emile Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul The Division of Labour in Society (1968) juga menganalisis kecenderungan masyarakat maju yang di dalamnya terdapat pembagian kerja dalam pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik, pendidikan, kesenian dan bahkan keluarga. Gejala tersebut merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi industri yang di dalamnya memerlukan memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya (Johson, 1986: 181-184). Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat tercermin pada konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah mampu memproduk manusia profesional dengan spesifikasi keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur manusia itu hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan sekolah yang mewarnai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sementara melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah juga masuk dalam kategori-kategori organisasi pada umumnya yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisatoris.
Oleh karena itu keberadaan sekolah patut dimasukkan sebagai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme birokratis dalam mengelola kerja-kerja institusinya. Beberapa prinsip penerapan birokrasi juga terdapat dalam lembaga sekolah antara lain:
a. Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi,
b. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
c. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
d. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertanggung jawab,
e. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
f. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal. (Robinson, 1981: 241).
Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal, beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang berbeda-beda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah (Robinson, 1981). Di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Manajemen Ilmiah
Pokok-pokok dari manajemen ilmiah antara lain:
• Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan tepat,
• Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang telah dicapai, dan
• Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta menggunakannya sebagai kriteria tunggal
Implikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya .

b. Sistem Sosio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal yang menjadi input organisasi, namun stafnya akan “mengetahui” sifat input-inputnya. Dengan begitu sekolah dapat menentukan instrumen-instrumen pengolahan demi menjamin hasil yang optimal. Sampai disini definisi sosio-teknis memberikan titik tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan cara-cara yang relevan dengan “bahan mentah” tersebut. Manajemen sosio-teknis masih menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga beberapa unsur yang melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki oleh sistem sosio-teknis .

c. Pendekatan Sistemik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah bentuk teori sistem. Ciri khas pendekatan ini adalah pengakuan adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas antar bagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi komponen-komponen lembaga sekolah.
Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan .

d. Pendekatan Individual
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan mengecilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi pada perkembangannya pendekatan individual memiliki dua keompok pandangan yakni :
1) Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan secara kolektif. Dimana sudut terpenting yang harus diperhatikan oleh sekolah adalah proses kematangan pribadi para siswa yang harus difasilitasi, diakomodasi kebutuhannya dan dibimbing menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi fleksibel agar para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981: 252).
2) Teori Aktif
Konstruksi pendekatan yang mengutamakan kemampuan aktif para siswa untuk menginterpretasikan makna-makna normatif dan tindakan-tindakan yang diharapkan berdasarkan iklim kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses sosialisasi di sekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan tetapi justru sekolah menjadi “pembantu” para siswa dalam mendokumentasi dan memantapkan makna-makna kehidupan yang didapat oleh mereka sendiri. Pendekatan ini sangat kental dengan pengaruh aliran fenomenologis dalam sosiologi. Oleh karena itu teori aktif bermaksud menekankan makna-makna tafsiran budaya yang didapat oleh individu-individu di dalam mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka (Robinson, 1981: 254).
Dari sini analisis yang bisa disajikan untuk mengamati keberadaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendidikannya terbagi menjadi dua lahan persoalan yakni:
a. Penafisiran multi-konsep tentang tujuan organisasi beserta alokasi peran yang sinergis
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk menetapkan tujuan lembaga. Berbeda dengan organisasi pada umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak. Hal ini tentu saja berbeda dengan lembaga lain yang jelas-jelas memiliki objek tujuan konkrit. Contohnya lembaga perusahaan, tentunya bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari keuntungan maksimal” bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur pabrik, buruh angkutan, sopir, sampai tenaga administrasi akan jelas mengartikan definisi tujuan tersebut. Sementara sekolah memiliki tujuan yang bersifat multi-penafsiran dan agak kabur.
Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antar posisi. Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajaran kepada siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal administratur sekolah ialah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas peranan menimbulkan nilai sosial yang berbeda-beda dan apabila ditarik dalam suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam penafsiran.
Dipandang dari sudut tujuannya ternyata lembaga sekolah harus melakukan bermacam-macam proses penyatuan pandangan baik dari wilayah internal maupun asumsi-asumsi publik di lingkup eksternal. Telaah sosiologis telah memberikan sumbangan konseptual untuk membedah objek tujuan sekolah dalam pola pola hubungannya dengan pihak internal maupun luar lembaga sekolah.
b. Kompleks permasalahan di sekitar orientasi lintas posisi dalam koridor efisiensi dan efektivitas
Kompleks pertentangan tersebut merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang memiliki peran-peran spesifik di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya.
Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsi-fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para siswa.
Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran komprehensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan pertentangan antar peran. Dengan begitu, para praktisi pendidikan diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai pola-pola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta varian-varian permasalahannya .
Sekolah sebagai suatu sistem, juga dipandang sebagai sebuah organisasi yang berskala luas. Sebagai suatu organisasi, sekolah mempunyai tujuan organisasi. Tujuan itu yang menjadi arah dan mengarahkan sistem sosial bersangkutan. Dalam organisasi sekolah terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan (guru, supervisor dan administrator) di dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan model organisasi bisa dikatakan bahwa tugas sekolah adalah memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada anak didik. Dalam hubungan ini supervisor berfungsi membina para guru supaya bisa bertugas secara lebih efektif dan tugas formal para administrator sekolah ialah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sistem sekolah. Para pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungannya dengan pemegang posisi lain di dalam sistem interaksi mereka.
Di antara para guru berbeda-beda pandangan mengenai tujuan sekolah. Begitu juga dengan para praktisi lembaga sekolah lainnya juga tidak mempunyai kesamaan dalam pandangan tuuan pendidikan. Bukti penelitian menunjukkan salah satu sumber utama yang melahirkan konflik dikalangan masyarakat praktisi mengenai tujuan dan program sekolah. Dan mereka tidak sadar akan kontroversi pertentangan mengenai tujuan sekolah. Dan perbedaan itu sering tidak muncul ke permukaan untuk dibahas secara terbuka. Sehingga hal ini menyebabkan adanya penghalang utama untuk keefektifan tindakan kelompok dan harmonisnya hubungan sosial.
Kesamaan pendapat mengenai batasan peranan para pemegang posisi pendidikan juga meragukan. Mereka yang bekerja bersama-sama dalam dunia pendidikan, seringkali tak memiliki pandangan atau pendapat yang sama mengenai hak dan kewajiban yang terkait dengan posisinya masing-masing.
Di dalam sekolah juga terdapat konflik intern, yaitu masalah harapan dari pihak lainnya kepada pihak lainnya antar pemegang posisi. Satu sama lain saling memberikan harapan. Harapan ini terkait tugas-tugas yang harus dijalankan oleh setiap pemegang posisi. Begitu juga orang tua wali menginginkan pengaturan masalah kediplinan sekolah, besar uang sekolah, penerimaan murid baru, kelulusan dan lain sebagainya.
Memandang sekolah sebagai suatu organisasi formal, dari kacamata sosiologis menisyaratkan adanya rintangan organisasi yang besar untuk berfungsi secara efektif. Kesimpulan pembahasan ini, ada dua penyebab masalah dalam sekolah. Yaitu kurangnya kata persetujuan mengenai tujuan organisasi sekolah itu sendiri dan kurangnya kesepakatan tentang batasan peranan dari masing-masing pemegang posisi pendidikan .

2. Kontribusi Sosiologi Terhadap Kegiatan Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial
Suatu analisis tentang struktur kompetisi beserta pengaruhnya terhadap prestasi belajar di sekolah menengah, secara nyata mempunyai implikasi untuk mengisolasikan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi hasil belajar suatu kelas. Gordon dan Bpookover ahli dari Amerika menyarankan pentingnya tinjauan sosiologis di dalam mengkaji struktur dan fungsi ruangan kelas sebagai suatu sistem sosial.
Dewasa ini penelaahan sosiologis dan sosio-psikologis mengenai ruangan kelas sebagai suatu sistem, sudah tak diragukan lagi nilai guna dan kontribusinya. Kontribusi empiris utama dari para sosiolog selama ini, yaitu di dalam menelaah struktur sosiometrik di kelas, dan memilihkan sumber-sumber tekanan dan ketegangan yang dihadapi guru-guru di kelas. Telaah sosiometrik mengungkapkan bahwa ruangan kelas, di dalamnya terdapat anak-anak “idiola” dan “penyendiri”, mengenai para guru, hasil penelitian menunjukkan, bahwa kerapkali para guru tidak mengetahui hubungan-hubungan antar pribadi di kalangan murid-muridnya di kelas. Mereka tidak menunjukkan kepekaan yang tinggi mengenai bagaimana sesungguhnya para muridnya mereaksi satu sama lain, mereka sering kali membiarkan bias pribadinya dalam menghadapi para siswanya ketimbang menggunakan asesmen yang tepat melalui sosiometri.
Hal lain yang menyebabkan ketegangan kejiwaan para guru pengajar di kelas salah satunya karena benturan antara struktur otoritas sekolah dengan status profesional guru-guru itu sendiri. Kepala sekolah sebagai pemegang otoritas di sekolah sudah tentu perlu mengawasi, mengkoordinasikan, dan memadukan semua kegiatan yang berlangsung di sekolah, termasuk juga terhadap sajian pelajaran yang diberikan guru (sesuai dengan kurikulum dan batasan bahan untuk satu semester/tahun). Untuk itu para guru harus bekerja dengan bertanggung jawab (sebagai hamba kurikulum) dan jika tidak maka kepala sekolah bisa menindak guru dengan memberikan sanksi. Hal seperti ini sebenarnya bertentangan dengan tugas seorang guru sebagai tenaga profesional yang memiliki otonomi untuk mengembangakan aktivitasnya dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Otoritas kepala sekolah menimbulkan kekecewaan bagi guru dan bisa mengacaukan pengajaran di kelas. Sehingga menimbulkan adanya jarak sosial antara guru dan kepala sekolah.
Penyebab ketegangan lainnya tumbuh dari perbedaan norma antara yang dianut guru dengan norma yang dianut siswa dalam hubungannya dengan perilaku siswa. Para guru mengharapkan para murid berprestasi sebaik mungkin sesuai potensinya. Sementara itu para siswa tak seberapa konsentrasi dengan harapan gurunya. Mereka lebih berorientasi pada struktur informal dan nilai-nilai dikalangan mereka sendiri. Mereka memiliki sifat asli yang dibawanya dari lingkungannya sendiri. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap penampilan mereka di sekolah. Jika tiak ada kesesuaian dengan nilai-nilai yang diharapkan guru, maka guru akan bisa tersiksa di dalam proses transaksi pengajarannya dengan para siswa.
Kontribusi lainnya adalah mengenai perilaku siswa yang suka menyendiri. Kekuatan kelompok teman sekelasnya mempunyai pengaruh besar terhadap anak-anak yang terisolasi. Hambatan utama untuk menyembuhkan anak penyendiri bukan terletak pada diri anak itu sendiri, tetapi terletak pada konteks kelas itu sendiri. Selama ini para guru dan bimbingan konseling berasumsi bahwa bimbingan individual adalah satu-satunya cara penyembuhan. Kita harus menyadarkan para guru dan pembimbing bahwa melalui perubahan iklim kelompok/kelas juga suatu alternatif lain yang tak kalah pentingnya dibanding cara individual. Untuk itu dituntut untuk mengeksplorasi bagaimana adanya kehidupan kelas sebagai suatu sistem sosial.
Analisis sosiologi juga mengungkapkan ada hubungan yang erat antara tingkah laku dan sikap seseorang dengan latar belakang kelompok atau aspirasi yang digandrunginya. Anak-anak sekolah pada umumnya cenderung untuk membentuk sebuah kelompok atau “GANK”. Kelompok-kelompok tersebut merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya adalah agar pengajar bisa efektif dalam mendidik siswanya maka perlu adanya usaha membendung kekuatan-kekuatan kelompok yang bisa mengacaukan arah pembinaan anak didiknya, dan berupaya mengubah nilai-nilai atau norma-norma kurang sehat di kalangan klik-klik siswa itu sendiri .

3. Kontribusi Sosiologi Terhadap Lingkungan Eksternal Sekolah
Sekolah sebagai suatu sistem tidak berdiri ssendiri dalam dunia hampa. Ia berada dan berfungsi, sebagiannya bergantung pada lingkungan eksternalnya. Sudut pandang sosiologis seperti itu mempunyai banyak implikasi dalam analisis sistem persekolahan.
Implikasi pertama ialah, dengan adanya perubahan-perubahan demografis di dalam sistem sosial yang lebih besar (masyarakat), secara materiil akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem sekolah dan hal itu menyebabkan sering kali ada modifikasi kurikulum. Jumlah urbanisasi yang besar menuntut mereka membutuhkan persekolahan. Fenomena di satu pihak menyebabkan sekolah-sekolah di desa kekurangan murid dan sebaliknya sekolah di kota tidak muat menampung banyaknya siswa yang mau masuk sekolah. Hal tersebut mengungkapkan betapa pentingnya pendekatan tersendiri dalam perencanaan sekolah baik di desa atau di kota yang jarang diperhatikan dunia pendidikan.
Aspek kedua adalah terkait struktur kelas sosial di masyarakat. Dari hasil penelitian, menyatakan bahwa kebanyakan aspek-aspek dalam penunaian fungsi persekolahan diengaruhi oleh fenomena kelas sosial. Pelaksanaan penilaian beserta kriteria yang digunakan dalam eveluasi hasil belajar siswa tampaknya ada hubungan dengn posisi kelas sosial siswa dan guru. Selain itu mobilitas aspirasi para siswa, angka putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, tingkah laku berpacaran siswa, dan pola persahabatan di kalangan siswa, tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial-ekonomi dari keluarga/orang tua siswa.
Aspek yang ketiga adalah stuktur kekuasaan di masyarakat. Pengelolaan program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan topangan dana yang tidak sedikit, dan hal itu sedikit banyak mempengaruhi mutu program dan hasil pendidikan. Seberpa banyak subsisi ke dunia pendidikan, baik dari pemerintah lokal atau nasional, kenyataannya bergantung pada para pengambil kebijakan di lingkungan struktur kekuasaan yang ada. Sehingga tidak heran jika para administratur pendidikan juga menunjukkan minatnya untuk menelaah struktur kekuasaan yang berlangsung di masyarakat, dan untuk itu lazimnya menyertakan ahli-ahli sosiologi.
Kontribusi keempat sosiologi terhadap lingkungan eksternal sekolah adalah penelitian rantaian penghubung antara sekolah dengan masyarakat. Keberadaan badan pertimbangan sekolah biasanya diasumsikan dengan tidak adanya proporsional asal strata para anggota badan pertimbangan sekolah (strata atas terhadap strata ekonomis) mengakibatkan adanya bias konservatif dalam pertimbangan-pertimbangannya. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh tingkah laku para anggota badan pertimbangan dan memotivasinya untuk menduduki jabatan tersebut terhadap penampilan dan kepuasan kerja para penilik kepala. Faktor lain seperti agama, pekerjaan, dan penghasilan terhadap tingkah laku para anggota. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa serba sulit bagi perkembangan sekolah, meskipun seringkali diabaikan, dengan adanya variabel tingkah laku kelompok kecil orang-orang awam dalam badan pertimabangan sekolah. Hal ini menyebabkan adanya upaya untuk meningkatkan mutu anggota badan pertinbangan sekolah.
Kontribusi yang kelima yaitu bertolak dari telaahan terhdap konflik antara peranan dimana para tenaga kependidikan dihadapkan pada benturan kepentingan dari posisi yang dipegangnya dalam sistem persekolahan dengan posisinya di dalam sistem sosial lain. Banyak harapan-harapan yang terkait dengan posisi guru, dalam kenyataannya berbenturan dengan harapan-harapan posisi lain yang dipegangnya di luar sistem persekolahan.
Hasil penemuan-penemuan diatas menyokong suatu prosisi bahwa konflik antar peranan di antara posisi di sistem persekolahan dengan lingkungan eksternal, merupakan sumber potensial utama lahirnya ketegangan di kalangan praktisi pendidikan, termasuk juga bagi para guru. Dengan tinjauan dan analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara lebih realistis dan peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang ada dan berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan sokongan penglihatan dan konsep-konsep sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing .

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Keberadaan sekolah yang mewarnai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sebagai organisasi pada umumnya yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisatoris.
Prinsip Birokrasi dalam Sekolah:
1. Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi,
2. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
3. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
4. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertanggung jawab,
5. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
6. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal. (Robinson, 1981: 241).
Beberapa Pranata Manajemen di Sekolah:
• Manajemen ilmiah (berkarakter mekanistis, ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya)
• Sistem sosio-teknis (memberikan titik tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan “input” dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan cara-cara yang relevan)
• Pendekatan sistemik (mengadopsi penanganan lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda organisasi. Tetapi memperhatikan sistem sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan)
• Pendekatan individual (mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan dalam organisasi). Dibagi menjadi 2, yaitu: 1. teori pasif, 2. teori aktif
Penyebab Masalah dalam Sekolah:
• Yaitu kurangnya kata persetujuan mengenai tujuan organisasi sekolah itu sendiri.
• kurangnya kesepakatan tentang btasan peranan dari masing-masing pemegang posisi pendidikan.
Penyebab ketegangan di dalam kelas:
• Perilaku siswa yang suka menyendiri, guru kurang peka terhadap fenomena tersebut
• Adanya benturan antara struktur sekolah dengan tugas profesional guru
• Adanya perbedaan norma yang dianut guru dan murid, apa yan diharapkan guru kurang direspon oleh murid. Contoh mengenai prestasi yang diharapkan guru kepada siswa
• Adanya sekelompok siswa yang membuat Gank, sehingga interaksi di dalam kelas tidak bisa normal/sehat
Kontribusi Sosiologi Terhadap Lingkungan Eksternal Sekolah:
• Implikasi pertama ialah, dengan adanya perubahan-perubahan demografis di dalam sistem sosial yang lebih besar (masyarakat), secara materiil akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem sekolah dan hal itu menyebabkan sering kali ada modifikasi kurikulum
• Implikasi kedua adalah terkait struktur kelas sosial di masyarakat. Dari hasil penelitian, menyatakan bahwa kebanyakan aspek-aspek dalam penunaian fungsi persekolahan dipengaruhi oleh fenomena kelas sosial.
• Aspek yang ketiga adalah stuktur kekuasaan di masyarakat. Pengelolaan program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan topangan dana yang tidak sedikit, dan hal itu sedikit banyak mempengaruhi mutu program dan hasil pendidikan.
• Kontribusi keempat sosiologi terhadap lingkungan eksternal sekolah adalah penelitian rantaian penghubung antara sekolah dengan masyarakat.
• Kontribusi yang kelima yaitu bertolak dari telaahan terhdap konflik antara peranan dimana para tenaga kependidikan dihadapkan pada benturan kepentingan dari posisi yang dipegangnya dalam sistem persekolahan dengan posisinya di dalam sistem sosial lain.

DAFTAR PUSTAKA

Faisal, Sanapiah. 1985. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
http:// kontribusi sosiologi terhadap pendidikan. Uns.ac.id
http:// kontribusi sosiologi terhadap pendidikan. Uns.ac.id
Robinson, Philip. 1981. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: CV.
Rajawali

(Sumber: http://blog.uin-malang.ac.id/jokopurwanto/2011/04/27/78/)

IV. PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT

BAB 6

PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT



DESKRIPSI DINAMIKA MASYARAKAT INDONESIA

Dilihat dari perspektif pendidikan, dalam masyarakat ada empat sumber masalah, yaitu:

- Rendahnya kesadaran multikultural.

- Penafsiran otonomi daerah yang masih lemah.

- Kurangnya sikap kreatif dan produktif.

- Rendahnya kesadaran moral dan hukum.

Di pihak lain, konstruk masyarakat masa depan yang ditenggarai secara kuat oleh semangat Bhineka Tunggal Ika yang benar, sistem sosial yang mengakar pada masyarakat, ekonomi berorientasi pasar dengan perspektif global, serta perlunya moralitas hukum yang dijunjung tinggi. Keempat hal tersebut mengiindikasikan orientasi pembangunan yang mengutamakan kepentingan mayoritas yang berimplikasi pada perlunya peningkatan SDM, peningkatan aktivitas sektor ekonomi, pengembangan kreativitas dan produktivitas, dan pengembangan hati nurani. Masyarakat Indonesia baru adalah masyarakat yang harus memiliki karakteristik tersebut yang ditandai dengan menyatunya kepentingan masyarakat, dengan kepentingan negara, tentu saja untuk mewujudkan Masyarakat Indonesia Baru yang demikian sangat diperlukan strategi yang tepat untuk menyentuh aspek struktural dan aspek kultural dan dinamika proses perkembangan masyarakat.



Dalam perkembangan global, pendidikan sangat berperan untuk mewujudkan Masyarakat Indonesia Baru. Visi pendidikan nasional adalah pendidikan yang mengutamakan kemandirian dan keunggulan yang menghasilkan kemajuan dan kesejahteraan yang berdasarkan nilai-nilai universal dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Sedangkan menurut GBHN tahun 1999, misi pendidikan nasional lima tahun mendatang adalah: Terwujudnya sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh ahklak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, memiliki keterampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan mutu manusia Indonesia.

Misi tersebut dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Misi jangka pendek:

- Penuntasan program pendidikan yang terganggu oleh krisis yakni wajib belajar 9 tahun yang bermutu.

- Pengembangan kapasitas kelembagaan pendidikan.

- Pengembangan program yang mengarah pada penguatan Iptek.

2. Misi jangka menengah:

- Memantapkan dan mengembangkan dan melembagakan secara berkelanjutan apa yang telah dirintis dalam misi jangka pendek.

- Perbaikan aspek kelembagaan dan manajerial.

- Pemberdayaan masyarakat dan sistem pendidikan.

- Perbaikan substansi yang terkandung dalam sistem pendidikan nasional.

3. Misi jangka panjang:

- Pembudayaan dan pemberdayaan sistem baru dengan iklim serta proses pendidikan yang demokratis.

- Memperdulikan mutu yang ditempatkan dalam perspektif global.



PERKIRAAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT MASA DEPAN

Istilah “Masyarakat Indonesia Baru” merupakan suatu masyarakat yang dicita-citakan bangsa Indonesia setelah era reformasi. Ada juga yang menggunakan istilah “Masyarakat Madani” atau Civil Society. Masyarakat Indonesia mempunyai ciri-ciri yang khas, berdasarkan ciri-ciri khas tersebut akan dibangun Masyarakat Madani Indonesia.

Untuk mewujudkan Masyarakat Indonesia Baru ada komponon-komponen dasar yang dibutuhkan, yaitu:

- Kebutuhan untuk terus menguasai lingkungannya.

- Kebutuhan untuk berkomunikasi baik dengan sesamanya maupun dengan tradisi dan masa lalunya.

- Kebutuhan untuk lepas dari berbagai lingkungan yang menghambat aktualisasi dirinya.

Prinsip-prinsip yang harus dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan tersebut adalah:

1. Prinsip mengembangkan dan menegakkan kedaulatan rakyat.

2. Prinsip mengembangkan dan menegakkan hukum dan keadilan.

3. Prinsip mengembangkan kemajuan Iptek.

4. Prinsip mengembangkan pluralisme masyarakat.

5. Prinsip mengembangkan masyarakat berwawasan lingkungan.

6. Prinsip mengembangkan masyarakat berketuhanan Yang Maha Esa.



Sumber: Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press

Selasa, 14 Februari 2012

KKN STKIP BIMA " Mandiri Terpadu"

Kemarin tanggal 13/02-2012, dilepas peserta KKN STKIP BIMA tahun akademik 2011/2012. KKN Tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena KKN tahun ini bernama KKN Mandiri Terpadu, dimana mahasiswa dituntut untuk melaksanakan kegiatan yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Pak Nasution, M.Pd memberikan kepercayaan pada saya untuk membimbing mahasiswa di lokasi Kota Bima, yaitu di Linkungan Kedo kelurahan Jatiwangi.

Satu harapan yang disampaikan kepada para peserta KKN yang berjumlah 23 orang yaitu agar melaksanakan KKN dengan baik, mengabdi kepada masyarakat secara bersama-sama dan saling menjaga persahabatan di antara anggota kelompok.

Senin, 15 November 2010

Discourse Analysis


The Functions of Language

Language exists to serve three main functions: experiential, interpersonal, and textual. Language experiential function serves language users’ needs to make meanings of their ‘world’, to label the various experiences they have. In other words, language is used to represent users’ thoughts. It is user to label things, feelings, attitudes, events, and others that constitute our environment.

The interpersonal function of language serves users’ needs to establish and maintain social relathionship with other members of the society. Language is used for a wide range of communication purposes users are trying to achieve. They use it to perform actions such as instructing, informing, inviting, showing likes and dislikes, and others. At the same time, users reflect their views on their social status in relation to the people they interact with. Social values are also shared and maintained through people’s use of languge.

Textual function of language, on the other hands refers to the capacity of language to ‘embody’ language users’ thoughts and actions. It gives forms to concepts and meanings language users intend to express by means of textual features or elements. The three functions of language can be identified at the same time in any piece of language used by speakers and writers.

You have learned about the three main functions of language. It is, then, time to check your comprehension of the above dicussions. Now, do the following exercises. When you finish, check your answers with the key answers provided in the last section of the module.


DISCOURSE AND CONTEXT OF SITUATION

Field of Discourse

Defined as language doing some jobs in some contexts of situation the job of a discourse is to represent the meanings of its context of situation. In representing such meanings of discourses may vary in their qualities, particularly in their unity and coherence. To judge the quality of discourse it is necessary to analyze the context of situation which can be inferred from the elements of the discourse. In analyzing a context of situation we focus attention on its three components or aspects, i.e. Its field of discourse, tenor of discourse, and its mode of discourse. In analyzing the field of discourse we need to identify its processes, participants, and its attendant circumstances.


Tenor of Discourse

If the field discourse refers to the content of discourse i.e. the processes, the participants, and the attendant circumstances involved WITHIN a discourse, the tenor of discourse refers to the PERSONS who are interesting by means of a discourse, i.e. the persons who are in charge of the production, the transmission, and the nature of the RELATIONS obtaining between the persons respective ROLES. The role relations comprise three aspects: the relevant AGENT ROLES, the relevant DYADIC STRUCTURE, and the relevant SOCIAL DISTANCE. These three aspects of the role relations are closely related to whether or not the social activity involving the discourse is institutionalized. An institutionalized activity tends to involve specific agent roles, a hierarchical dyadic structure, and a social distance that leans towards the maximal degree

Mode of Discourse

The mode of discourse refers to how language plays its role in social activities. The mode of discourse comprises three components or aspects too. They are LANGUAGE ROLE, PROCESS SHARING, and MEDIUM. The role of language may be CONSTITUTIVE or ANCILLARY. The process sharing ranges from the most ACTIVE to the most PASSIVE. Process sharing is closely related to CHANNEL, which may be PHONIC or GRAPHIC. The component, i.e. Medium, is divided into SPOKEN MEDIUM and WRITTEN MEDIUM. Medium refers to how linguistic elements are organized in a discourse.

Discourse and Field of Discourse

Entitled “Discourse and The Field of Discourse” this unit is mainly concerned with how elements of the field of discourse are represented by language, particularly by the experiential component of the semantic system. As the representation of the field of discourse, the experiential component is similarly composed of three kinds of elements, i.e. processes, participants, and attendant circumstances. Processes may be classified into three major types, i.e. material, mental, and relational processes, and three minor types, i.e. behavioral, verbal, and existential processes.

Each of the process types involves specific types of participant. The participant types include: Actor – Goal/Patient, Senser – Phenomenon, Carrier – Attribute, Identified – Identifier, Behaver, Sayer – Target, Existent, Beneficiary, and Range. Processes may also involve attendant circumstances. Circumstantial elements include: Extent and Location in Time and Space, Manner, Cause, Accompaniment, Matter, and Role.

The processes, participants, and circumstances which constitute the content of a discourse are interwoven in a coherent way, and are expressed by appropriate lexical and grammatical elements. By studying the lexical and grammatical elements we will be able to analyze the processes, participants, and circumstances which constitute that content of the discourse.


Discourse and Tenor of Discourse

The tenor of discourse is represented in discourse by the Interpersonal function of language. In the English Interpersonal system there are four major speech functions, i.e. statements, questions, offers, and commands, by means of which addressers and addressees exchange information as well as goods and services in appropriate, effective, and efficient ways. This is made possible by organizing pieces of information into propositions which consists of Moods and Residues. The Mood plays a vital role in interpersonal interactions because it embodies the essential elements required in interpersonal exchanges, i.e. persons/subjects, time reference, modality, and polarity. The verbal operators, which are limited in number but quite adequate in function, enable speakers and listeners to interact effectively and efficiently. With the aid of the Residue system, which incorporates a great variety of predicators, complements, and adjuncts, addressers and addresses are able to exchange practically all kinds of information, goods, and services.


Discourse and Mode of Discourse

The mode of discourse, which is the component of a context of situation that specifically refers to language, is represented by the textual function of language. The job of the textual component of the semantic system is to organize message. In the context of sentence, a message takes the form of theme plus rheme. The theme constitutes what a speaker wants to focus on. In functions as the starting point for the message to be expressed. Therefore, the theme is represented by the sentence constituent that occupies the front position. The elements following the theme constitute the theme, i.e. the elements of the message that relate to the theme.

A theme may be unmarked, i.e. typical, or marked, i.e. no typical. A theme is classified as a simple theme if its elements constitute one single constituent of a sentence, e.g. a nominal group, a nominalization, a prepositional phrase, an adverbial phrase etc. The other type is multiple theme, i.e. a message theme that consists of two or more units that constitute different constituent Unlike a simple theme which is always a topical/experiential theme, a multiple theme consists of one topical theme plus one or more non-topical themes, i.e. textual and/or interpersonal themes.

Every sentence-type – declarative, imperative, explanative, WH-interrogative, or Yes/No-interrogative – has a specific theme. Besides the specific theme – mostly a topical one – there may be one or more additional themes, so that the theme becomes a multiple theme. Except in Yes/No-questions, the additional themes are textual and/or interpersonal themes.

The Structure of Discourse

As members of a socio-cultural group we have been involved in various of social activity. This frequent involvement has made us aware that every type of social activity is structure in a distinct way, i.e.it consists of certain essential elements which are arranged in a specific way. Since a discourse constitutes the verbal expression of a social activity, the discourse would naturally have a structure which corresponds to that of the social activity it expresses verbally.

From experience we also know that structure is not the property of individual discourse and individual social activity only, but it is shared by discourse and social activities which belong to the same type. Every discourse type has a distinct structure which corresponds to the structure of the type of social activity that is verbally expressed by the discourse type. Classroom discourse would have a structure that differs from that of shopping discourse or problem-solution discourse.

The structure various types of discourse constitutes one of the focal objects of discourse analysis .The other focal object is the texture of discourse, i.e. how its meaning elements are interrelated. The structure and the texture of a discourse play a very important role in determining its unity and its coherence.

Discourse Structure and Contextual Confifuration

Every discourse type has a definite structure. It is for this reason that we can easily distinguish one discourse type from another, our knowledge of the structures of various discourse types also enables us to judge whether a sequence of utterances is a non discourse, an incomplete discourse, or a complete one. It also enable us to judge whether or not a discourse is well-formed. We have developed this knowledge mainly through our socio-cultural experience by participating in various kinds of social activity.

The various discourse types are technically referred to as registers or genres of discourse. Every registers or genre is closely related to a specific social activity because a discourse is essentially the verbal expression of the related social activity. Therefore the structure of the discourse (type)necessarily corresponds to the structur of the (type of) social activity. the basic unit of the social activity is technically referred to as contextual configuration, or shortened as CC. It is the structure of the CC that is actually expressed verbally by its related discourse. Every CC is structure in accordance with how a specific field of discourse is merged with a specific tenor and a specific mode of discourse. Our knowledge of the structures of various types of discourse as well as their relations to the structures of their CC’s enables us to participate smoothly and effectively in a greet number of discourses and their related social activities


Discourse Structure and Its Elements

A discourse is a semantic unit. Therefore, its structure consists of units of meaning which are exchanged by the agent roles, i.e. the speaker/writer and the addressee. The structure involves obligatory and optional elements may be iterated, but the iteration of elements has to be performed according to certain rules.

In analyzing the structure of a discourse we have to identify and describe its obligatory and optional elements, the sequence of those elements, and the iteration of certain elements.


The Texture of Discourse

Unlike discourse structure, which refers to the sequencing of the obligatory and optional elements of a discourse corresponding to a specific social activity, discourse texture refers to the interrelations of semantic elements contained in the individual messages of a discourse. Therefore, texture is not determined by the completeness of a discourse; an incomplete discourse may also have good texture.

Discourse texture is determined by how the meaning elements contained in the individual messages of a discourse are related to each other; the better the interrelations the better the texture. These semantic interrelations are realized by appropriate lexico-grammatical elements. Thus, discourse texture is primarily a network of relations among linguistic elements. These relations are referred to as co-textual relations, because they exist within the text itself, without directly involving its context of situation.

Althoug texture also contribute to the establishment of discourse unity, partioulary its co-textual unity,the main role of texture is elements as an integral network.


Texture, Cohesive Ties, and Cohesive Devices

The texture of a discourse is composed of the meaning relations among the individual messages that are involved in the discourse. These meaning relations are referred to as cohesive ties. Cohesive ties may be co-referential (i.e. referring to the same entity), or co-extensional (i.e. belonging to the semantic field)

Cohesive ties area formally represented by cohesive devices, i.e. lexico-grammatical elements which signify componential relations (such as ‘reference’ substitution’, and ‘ellipsis) pr organic relations (such ‘conjunctives’ and ‘adjacency pairs’. Such devices area classified as grammatical devices. Besides, there are lexical devices, which are sub-divided into those that signify componential relations (such and those that signify organic relations (such as ‘continuatives’).

Grammatical and lexical devices represent non-structural cohesion. In addition to these there are special device, such as ‘parallelism’, ‘theme-rheme’, and ‘Given-New’, which represent structural cohesion.

Discourse Texture and Coherence

The texture of a discourse is essentially a network of intermessages and intra-messages realtions of meaning. These meaning inter-realtions are realized by cohesive chains (of meaning) and bya chain interactions. Themore elements of a messages the greater the contribution to forming a cohesive texture.

This contributions will be still greater if each cohesive chain involves a large number of successive messages. Besides cohesive chains, chains interactions also play a very important role in developing the texture of a discourse. A chain interactions is a situation in which at least two elements oa a a cohesives chain stand in the same realtins to at least to elements ao another cohesive chain. The relations may be “actor an actions” “actions and acted-upon”, “actor and location”, etc. The more elemetns of a cohesive chain or other chains, the more cohesive the texture of a discourse is, the more coherent the discourse will be.

Besides the number and the length of cohesive chains which exist among successive messages, as well as the length and the number of chain interactions which involve the cohesive chains, the interrelationships of chain inteactions are also very important. The chain interactions within a discourse should be related to each other in such a way that they from an integrated network of chain interactions.

No chain interaction should be isolated from the network. Otherwise, the cohesiveness of the discourse texture will be less than optimal, and thus the discourse will not have optimal coherence.

(Sumber: http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/discourse-analysis/)

EVALUASI PENGAJARAN

EVALUASI PENGAJARAN


I. DEFINISI
Apa yang anda ketahui tentang istilah Evaluasi? Mungkin anda akan menjawab evaluasi sama dengan penilaian atau memikirkan dan mengkaji kembali. Pernahkan anda melakukan Evaluasi? Tentu jawabanya masih ngambang. Sebagai mahasiswa keguruan anda mungkin akan menjawab saya tidak pernah melalukan evaluasi karena yang ada dibenak anda adalah evaluasi yang berkaitan dengan evaluasi pengajaran. Jawaban anda sesungguhnya keliru sebab dalam setiap kegiatan yang kita lalakukan setiap hari, kita selalu melakukan evaluasi. Evaluasi yang kita lakukan bisa seperti contoh berikut. Ketika anda hendak pergi kuliah, di depan cermin anda memperhatikan pakaian yang anda pakai- kemudian mungkin anda merasa tidak senang dengan pakaian tersebut dan anda memutuskan untuk mengganti dengan pakaian yang lain. Anda sesungguhnya telah melakukan proses evaluasi.

Evaluasi secara luas didefinisikan sebagai suatu proses merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi-informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan (Mehrens & Lehmann, 1978). Dalam melakukan evaluasi ada proses yang sengaja direncanakan. Ini berarti bahwa setiap kegiatan yang dilakukan harus dilakukan dengan proses planning lebih dahulu. Dari proses perencanaan tersebut kita memperoleh berbagai informasi dan dengan ketersediaan informasi tersebut kita bisa mengambil keputusan. Contoh nyata evaluasi yang biasa manusia lakukan adalah ketika mencari pasangan hidup. Suatu saat dia memutuskan untuk hidup bersama pasangan setelah melakukan proses evaluasi. Namun terkadang keputusan yang dia ambil bisa saja salah. Selang setahun atau dua tahun membina rumah tangga, dia bercerai karena tidak cocok. Mengapa hal itu bisa terjadi? Ini bisa disebabkan karena dia tidak melakukan evaluasi secara maksimal. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita ketika melakukan suatu kegiatan kita harus melakukan evaluasi secara komprehensif dan berkualitas agar keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang benar- bukan seperti contoh kasus diatas.

Lalu apakah yang dimaksud dengan Evaluasi Pengajaran? Menurut Norman E. Grondlund (1976) Evaluation… is a systematic process of determining the extent to which instructionsl objectives are achieved by pupils ( suatu proses yang sistematis dalam menetukan sejauh mana tujuan-tujuan pembelajaran telah dicapai oleh peserta didik. Berdasarkan definisi ini, ada tiga aspek penting dalam evaluasi pengajaran. Pertama adalah suatu proses yang sistematis. Ini artinya bahwa seorang guru dalam melakukan evaluasi harus ingat bahwa dia harus merencanakan evaluasi pengajarannya dengan baik dan evaluasi hendaknya dilakukan secara berkesinambungan. Evalausi tidak hanya dilakukan pada akhir program pembelajaran atau diakhir semester, tetapi semenjak dia melakukan proses pembelajaran pertama dalam satu semester. Guru harus mengevaluasi baik itu kognitif dan afektif maupun psikomotor peserta didik.

kalau kita mengacu pada apa yang ditulis oleh King Barry dalam bukunya " Beginnning Teaching" (2000), maka kita akan paham bahwa siklus tugas utama guru sebagai pengajar ada 3 (tiga); yaitu Planning (perencanaan), Teaching (pengajaran) dan Evaluation (evaluasi). Ketiga siklus ini saling terkait , artinya teaching dan evaluation tidak boleh terlepas dari planning yang guru lakukan. Keterkaitan tersebut digambarkan pada contoh berikut;

Diawal tahun pelajaran baru atau awal semester seorang guru diharuskan membuat Planning. Planning sangat penting bagi pelaksanaan tugas guru. Barry bahkan menulis "Teaching without planning is nonesense- mengajar tanpa persiapan adalah omong kosong". Dalam tahapan ini tugas guru adalah antara lain mengkaji SK dan KD mata pelajaran yang dibinanya, kemudian menyusun silabus dan RPP.Bagaimana hubungannya dengan evaluasi?

SK dan KD yang tertuang dalam silabus dan RPP harus ditentukan dulu KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Contoh seorang guru IPS ingin mengajar Macam-macam Kebutuhan Manusia, maka untuk materi ini dia harus melakukan analisis KKM. Adapun cara menganalisis KKM adalah sebagai berikut. Pertama, dilihat KOMPLEKSITAS materi yang akan diajarkan. Untuk kompleksitas, bila materi tersebut sulit diberi skor 1 (atau pakai puluhan, 50-64), sedang 2 (65-80), dan mudah 3 (81-100). Kedua, dilihat DAYA DUKUNG, yaitu ketersedian sarana dan prasarana serta kompetensi guru, yang apabila tidak memadai diberi skor 1 (atau puluhan seperti diatas), cukup memadai 2, dan memadai 3. Ketiga, dilihat INTAKE yaitu kemampuan siswa. Bila kemampunan siswa dirasa kurang bisa untuk memahami materi diberikan skor 1 (atau puluhan seperti diatas), cukup bisa 2, bisa 3.

Untuk perhitungan dengan satuan (1,2,3), caranya adalah skor perolehan dibagi skor maksimal dibagi 100, sedangkan untuk puluhan dijumlahkan ketiga krireia KKM kemudian dibagi 3. Contoh, untuk materi diatas tadi: Kompleksitas diberi skor 3 karena materi tersebut tidak terlalu sulit, Daya dukung 2 karena cukup memadai, dan Intake 2 karena kemampun siswa dirasa cukup untuk memahami materi tersebut. Sehingga, 3+2+2:9X100= 78. Jadi berdasarkan analisis yang dilakukan KKM untuk materi tersebut diatas adalah 78.

...... dst masih disambung.....

Soal:
1. Baigamanakah definisi evaluasi secara umum/luas?
2. Apakah definisi evaluasi pengajaran menurut Norman E. Grondlund?
3. Evaluasi pengajaran harus dilakukan melalui proses yang sistimatis. Uraikanlah maksud pernyataan tersebut!

Aspek yang kedua adalah diperlukannya berbagai data atau informasi. Dalam mengevaluasi peserta didik, seorang guru membutuhkan berbagai macam bentuk informasi atau data, seperti bentuk-bentuk ranah penilaian Bloom yang meliputi Kognitif, Afektif, dan Psikomotor. Ketiga ranah ini harus menjadi titik fokus evaluasi guru. Terkait ranah Kognitif, seorang guru menilai tentang daya pikir siswa atau kemampuan ingatan siswa. Ini berarti setelah dilakuakannya proses pembelajaran dalam waktu tertentu, guru memberikan tes terkait dengan materi pelajaran. Bentuk-bentuk penilaian ranah ini bisa berbentuk ulangan harian, mid-semester, maupun ulangan akhir semester. Ranah Afektif berhubungan dengan perilaku dan keaktifan siswa. Sedangkan Psikomotor terkait dengan penilaian praktek atau apa yang diistilahkan dalam KTSP sebagai Unjuk Kerja. Aspek yang ketiga adalah berdasarkan tujuan pembelajaran. Evaluasi yang dilakukan oleh seorang guru harus selalu berdasarkan Tujuan Pembelajaran yang biasanya tertuang dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang disusun oleh guru.

Soal:
1. Bagaimanakah pendapat anda jika guru mengevaluasi siswa hanya berdasarkan kemampuan ingatan siswa saja?
2. Dalam melakukan Evaluasi, prinsip yang juga harus dingat adalah evaluasi hendaknya selalu berdasarkan tujuan pembelajaran. Apakah maksud pernytaaan tersebut?

(Bersambung)




Bacaan Tambahan

Penilaian dalam KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam melakukan pembelajaran menerapkan pendekatan pembelajaran tuntas (mastery learning). Sedangkan dalam penilaian menerapkan sistem penilian berkelanjutan yang mencakup 3 aspek yaitu aspek kognitif, psikomotorik dan afektif
Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu; ranah kognitif, psikomotor dan afektif Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap mata ajar selalu mengandung ketiga ranah tersebut, namun penekanannya selalu berbeda. Mata ajar praktek lebih menekankan pada ranah psikomotor, sedangkan mata ajar pemahaman konsep lebih menekankan pada ranah kognitif. Namun kedua ranah tersebut mengandung ranah afektif
Menurut Bloom (1979) ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yangpencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan akti vitas fisik, misalnya; menulis, memukul, melompat dan lain sebagainya.
Ranah kognitifberhubungan erat dengan kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, rnemahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi. Sedangkan ranah afektif mencakup watakperilaku seperti sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.
Penilaian Aspek Kognitif
Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu ranah kognitif, psikomotor dan afektif. Secara eksplisist ketiga aspek tersebut tidak dipisahkan satu sama lain. Apapun jenis mata ajarnya selalu mengandung tiga aspek tersebut namun memiliki penekanan yang berbeda. Untuk aspek kognitif lebih menekankan pada teori, aspek psikomotor menekankan pada praktek dan kedua aspek tersebut selalu mengandung aspek afektif
Aspek kognitifberhubungan dengan kemampuan berfikir termasuk di dalamnya kemampuan memahami, menghapal, mengaplikasi, menganalisis, mensistesis dan kemampuan mengevaluasi. Menurut Taksonomi Bloom (Sax 1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarkis yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi
Pada tingkat pengetahuan, peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan hapalan saja. Pada tingkat pemahaman peserta didik dituntut juntuk menyatakanmasalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contohsiiatu konsep atau prinsip. Pada tingkat aplikasi, peserta didik dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam situasi yang baru. Pada tingkat analisis, peserta didik diminta untuk untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan asumsi, memebedakan fakta dan pendapat serta menemukan hubungan sebab—akibat. Pada tingkat sintesis, peserta didik dituntut untuk menghasilkan suatu cerita, komposisi, hipotesis atau teorinya sendiri dan mensintesiskan pengetahuannya. Pada tingkat evaluasi, peserta didik mengevaluasi informasi seperti bukti, sejarah, editorial, teori-teori yang termasuk di dalamnya judgement terhadap hasil analisis untuk membuat kebijakan.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yangmengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
Aspek kognitif terdiri atas enam tingkatan dengan aspek belajar yang
berbeda-beda. Keenam tingkat tersebut yaitu: . ,.
1. Tingkat pengetahuan (knowledge), pada tahap ini menuntut siswa untuk
mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima
sebelumnya, misalnya fakta, rumus, terminologi strategi problem
solving dan lain sebagianya.
2. Tingkat pemahaman (comprehension), pada tahap ini kategori pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelaskan
pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri.
Pada tahap ini peserta didik diharapkan menerjemahkan atau
menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.
3.Tingkat penerapan (application), penerapan merupakan kemampuan
untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke
dalam situasi yang baru, serta memecahlcan berbagai masalah yang timbul
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Tingkat analisis (analysis), analisis merupakan kemampuan
mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen
atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau
kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada
atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat ini peserta didik diharapkan
menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara
membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur
yang telah dipelajari.
5. Tingkat sintesis (synthesis’), sintesis merupakan kemampuan seseorang
dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur
pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih
menyeluruh.
6. Tingkat evaluasi (evaluation), evaluasi merupakan level tertinggi yang
mengharapkan peserta didik mampu membuat penilaian dan keputusan
tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan
menggunakan kriteria tertentu.
Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih baik.
Maka apabila bahan ajar telah diajarkan secara lengkap sesuai dengan program yang telah ditetapkan maka membuat alat penilaian (soal) dengan formulasi perbandingan sebagai berikut:
1.soal yang menguji tingkat pengetahuan peserta didik : 40%
2. soal yang menguji tingkat pemahaman peserta didik : 20%
3.soal yang menguji tingkat kemampuan dalam penerapan pengetahuan : 20%
4. soal yang menguji tingkat kemampuan dalam analisis peserta didik .: 10%
5.soal yang menguji tingkat kemampuan sintesis peserta didik : 5%
6.soal yang menguji kemampuan petatar dalam mengevaluasi : 5%
Total formulas! soal untuk satu kali ujian yaitu: 100%
Dengan menggunakan formulasi perbandingan soal di atas mempermudahseorang guru untuk memperjelas cara berfikirnya dan untuk memilih pertanyaan-pertanyaan (soal-soal) yang akan diujikan, selain itu juga dapat membantu seorang guru agar terhindar dari kekeliruan dalam membuat soal.
Seorang guru dituntut mendesain program/rencana pembelajaran termasuk di dalamnya rencana penilaian (tes) diantaranya membuat soal-soal berdasarkan kisi-kisi soal dan komposisi yang telah ditetapkan.
Bentuk tes kognitif diantaranya; (1) tes atau pertanyaan lisan di kelas, (2) pilihan ganda, (3) uraian obyektif, (4) uraian non obyektif atau uraian bebas, (5) jawaban atau isian singkat, (6) menjodohkan, (7) portopolio dan (8) performans.

(Sumber: http://massofa.wordpress.com/2008/08/04/aspek-penilaian-dalam-ktsp-bag-1-aspek-kognitif/)

Sabtu, 23 Oktober 2010

STRUCTURE 2

Course : Structure 2
Code :
Credit : 2 SKS
Lecturer :
Course Description
Grammar 2, as the continuation of Grammar 1, focuses on deeper discussion on Parts of Speech such as verbs and auxiliaries, noun and determiners, pronouns, adjectives, and adverbs. To ensure understanding, students are given routine exercises as available in student’s workbook. Correction on student’s work becomes feedback for their self-development.

Course Objectives
Upon completing this subject, students are expected to be able to:
1. differentiate between verbs and auxiliaries;
2. use the semantic of the verb phrase in their daily activities;
3. differentiate adjectives from adverbs and how they are formed;
4. recognize preposition and prepositional phrase

Course Requirements
Students are required to have at least 80% attendance, complete all assignments, and actively participate in the classroom discussion.

Grading Policy
Scores are drawn from attendance, assignment, mid-test, and final test in equal proportion.

Tentative Schedule
Session Topics
1 Review of the previous material
2 Verbs and auxiliaries 1
3 Verbs and auxiliaries 2
4 The semantic of the verb phrase 1
5 The semantic of the verb phrase 2
6 Nouns and determiners 1
7 Nouns and determiners 2
8 Midterm test
9 Pronouns 1
0 Pronouns 2
11 Adjectives
12 Adverbs
13 The semantic and grammar of adverbials
14 Preposition
15 Prepositional phrase
16 Final test


References:
Azar, B. S., & Hagen, S. A. (2006). Basic English Grammar (3rd Edition). Pearson Education: New York.
Butt, David. (1995). Using Functional Grammar: An Explorer’s Guide. Sidney: Australia.
Greenbaum, Sidney and Randolph Quirk. (1990). A Student’s Grammar of the English Language. Longman:. England
Murphy, Raymond. (1988). English Grammar in Use. Cambridge University Press.
Salahuddin (2010). The Book of English Grammar. STKIP Taman Siswa: Bima

Minggu, 17 Oktober 2010

PROFESI KEPENDIDIKAN

Kompetensi Yang Ingin Dicapai:

Mahasiswa mampu memahami, menganalisa, mengaktualisasikan bahw pendidikan merupakan suatu proses yang mulia serta dapat memberikan bimbingan terutama dalam administrasi sekolah, kode etik guru dan penerapannya.

Materi Pembelajaran
1. Wawasan profesi
2. BK
3. Administrasi Pendidikan
4. Ketatausahaan Sekolah
5. Kode Etik Guru
6. Aplikasi Profesi Guru
===========

I. Wawasan Profesi Kependidikan

Salah satu definisi Profesi adalah "Jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (Expertice) dari para anggotanya" (Satori dkk, 2009). Berdasarkan definisi ini tergambar jelas bahwa sebuah jabatan hendaklah diduduki oleh orang-orang yang memang punya keahlian pada posisi tersebut. Muncul sebuah pertanyaan kemudian, apakah boleh jika disuatu daerah ada jabatan kepala camat dijabat oleh seorang guru?.Jawabannya jelas TIDAK. (Masih akan dilanjutkan.......)

(Akan segera di isi.....)

Jumat, 15 Oktober 2010

PENGANTAR ILMU SOSIAL

Materi Pembelajaran

1. Pengertian Dasar IPS
2. Karakteristik IPS
3. Sejarah Singkat Perkembangan IPS
4. Fungsi Pengajaran IPS di Sekolah
5. Peranan Pengajaran IPS dalam pembangunan Masyarakat
6. IPS dan Modernisasi
7. Ilmu-ilmu Sosial Komponen dari IPS
8. Ilmu-ilmu Penggetahuan Penunjang IPS
9. Kurikulum dan IPS

======

I. PENGERTIAN IPS

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang dalam bahasa Inggris disebut Social Studies,memiliki banyak definisi. National Council for Social Studies (NCSS) (1993), memberikan definisi sebagai berikut:

Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program,social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an interdependent world. (Ilmu pengetahuan sosial adalah studi terintegrasi tentang ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk membentuk warganegara yang baik/ berkompeten. Program IPS di sekolah merupakan gambaran kajian sistematis dan koordinatif dari disiplin ilmu-ilmu sosial seperti antrophology, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu pengetahuan politis, psikologi, agama, dan sosiology, juga yang bersumber dari humaniora, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan utama dari ilmu pengetahuan sosial adalah untuk membantu generasi muda mengembangkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan yang beralasan dan sebagai warganegara yang bertanggungjawab pada suatu masyarakat yang berbeda budaya,masyarakat democratic dunia yang saling tergantung).

Berikut beberapa definisi yang lain:

1.The social studies is an integration of experience and knowledge concerning human relations for the purpose of citizenship education (Barr, 1977: 69) (Studi sosial adalah satu pengintegrasian pengalaman dan pengetahuan mengenai hubungan antar manusia untuk tujuan pendidikan kewarganegaraan )

2.The social studies is that part of the elementary and high school curriculum wich has the primary responsibility for helping students to develop the knowledge, skills, attitudes, and values needed to participate in the civic life of their local communities, the nation, and the world (Banks, 1990:3) (Ilmu pengetahuan sosial adalah bagian dari kurikulum SD dan sekolah menengah yang mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu para siswa untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengambil bagian di dalam kehidupannnya sebagai warganegara atau warga masyarakat-masyarakat di tingkat lokal, nasional, dan dunia)

3. Social studies is an area of the curriculum deriving its goals from the nature of citizenship in a democratic society with links to other societies. Drawing its content from the social sciences and other disciplines, it also incorporates the personal and social experiences of students and their cultural heritage. It links factors outside the individual, such as cultural heritage, with factors inside the individual, particularly the development and use of reflective thinking, problem solving, and rational decision making skills, for the purpose of creating involvement in social action (Cynthia Szymanski Sunal, Mary E Haas: 1993: 7) (Ilmu pengetahuan sosial adalah satu bagian kurikulum yang bersumber dari sifat kewarganegaraan di suatu masyarakat yang demokratis dalam kaitannya dengan masyarakat yang lain. Isi nya terdiri dari ilmu-ilmu sosial dan disiplin-disiplin lain, serta pengalaman-pengalaman sosial dan pribadi dari para siswa dan warisan budaya mereka. hubungan faktor-faktor di luar individu itu, seperti warisan budaya, faktor-faktor pengalaman diri siswa, terutama sekali dalam rangka pengembangan dan penggunaan pemikiran yang cemerlang, pemecahan masalah, dan ketrampilan membuat keputusan rasional, untuk tujuan menciptakan keterlibatan di dalam tindakan sosial)
Memperhatikan beberapa definisi IPS (social studies) tersebut di atas, sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara pada umunya, bahwa pengertian pendidikan IPS kadang terjadi perbedaan penafsiran oleh para ahli ilmu-ilmu sosial dan ahli IPS (studi sosial), serta ahli pendidikan pada umumnya. Akan tetapi beberapa penafisiran tersebut masih dapat di tarik kesamaan sehingga definisi pendidikan IPS yang lazim di Indonesia yaitu:

1.Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan pendidikan (Somantri, 2001: 92).

2.Pendidikan IPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan pendidikan (Somantri, 2001: 92).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan sosial merupakan suatu program pendidikan yang mengintegrasikan konsep-konsep ilmu sosial dan humaniora untuk tujuan pendidikan (membentuk warga negara yang memiliki kompetensi sosial baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara atau warga dunia. Melalui pendidikan IPS diharapkan dapat membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan sosial, humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran sosial di lingkungannya, serta memiliki ketrampilan dalam mengkaji dan memecahkan masalah sosial dalam kehidupannya, sehingga akhirnya diharapkan dapat menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab.


II. Karakteristik IPS

Pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah kelas 1 s/d 12, mungkin lebih sulit dalam pembelajarannya ketimbang yang monodisiplin seperti membelajarkan sejarah, geografi, ekonomi dsb. Karena membelajarkan IPS harus multisiplin dan interdisiplin, dan apalagi ini diajarkan sebagai mata pelajaran pada suatu kelas yang di dalamnya terdiri dari banyak bidang sosial. Akan tetapi harus disadari bahwa mengajar di tingkat sekolah tidak semendalam kalau mengajar mahasiswa. Contoh guru SD mengajar semua mata pelajaran dalam satu kelas, tetapi mereka mengajar tidak seperti mengajarkan materi untuk mahasiswa, bahan itu harus sesederhana mungkin untuk kepentingan usia peserta didik. Oleh karenanya untuk kelas tinggi (SMA) penyajiannya bisa secara separate discipline-based class dalam suatu jurusan (IPS), dengan tetap saling memperhatikan keterkaitannya, sehingga IPS tetap dapat dipahami dengan baik.
Ada dua karakteritik utama IPS, yaitu sebagai bidang kajian penelitian yang ditujukan untuk membentuk warga negara yang baik, dan kajian terpadu terhadap banyak penelitian. Akan tetapi secara rinci karekateristik pendidikan IPS menurut Banks (1990) adalah sebagai berikut:

1.social studies programs have as a major purpose the promotion of civic competence which is the knowledge, skills, and attitude required of students to be able to assume ”the office of citizen” (as Thomas Jefferson called it) in our democratic republic.( Program pendidikan IPS mempunyai tujuan utama membentuk warga negara yang memiliki pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, dan sikap yang dibutuhkan siswa dalam suatu masyarakat yang demokratis.)

2.social studies programs help students construct a knowledge base and attitude drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality.( Program pendidikan IPS membantu siswa dalam mengkonstruk pengetahuan dan sikap dari disiplin akademik sebagai suatu pengalaman khusus ).

3.social studes programs reflect the changing nature of knowledge, fostering, entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity.( Program pendidikan IPS mencerminkan perubahan pengetahuan, mengembangkan sesuatu yang baru dan menggunakan pendekatan terintegrasi untuk memecahkan isu secara manusiawi.).

(Diambil dari http://blog.unila.ac.id/pargito/2010/08/04/dasar-dasar-pendidikan-ips/)

Soal-soal:

1. Uraikan definisi ilmu pengetahuan sosial!
2. Apakah istilah bahasa Inggris dari Ilmu Pengetahuan Sosial?
3. Bagaimanakah pendapat anda mengenai pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial menurut Banks (1990) bila dikaitkan dengan realita kehidupan di sekitar anda?
4. Apakah yang menjadi karakteristik utama dari IPS jika dibandingan dengan ilmu-ilmu yang lain?

III. Sejarah Perkembangan IPS

Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Alasan dimasukannya social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai negara di belahan dunia juga terjadi, di antaranya perubahan perilaku manusia akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menjadikan bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang kompleks. Para ahli ilmu sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses negatif yang mungkin timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya dibutuhkan kemajuan ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga dapat dilakukan melalui pendekatan program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline) di tingkat sekolah merupakan salah satu pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam rangka membentuk perilaku sosial siswa ke arah yang diharapkan. Bahkan program pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi dan transformasi pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan sumberdaya manusia yang siap menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin komplek di masa datang.
Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda. Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut. Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran social studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah karena kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan program pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies. Agar materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of 1896-1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik). Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS (social studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on Social studies” yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social studies, dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas. Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program,social studies provides coordinated,systematic study drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an interdependent world.
Memandang perlunya pendidikan IPS bagi setiap warga negara Apresiasi terhadap social studies (pendidikan IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di Amerika, Inggris, dan berbagai negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di Australia dan Asia termasuk Indonesia.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia juga hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan pertentangan politik bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat rentan terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya di pandang perlu memasukan program pendidikan sebagai propaganda dan penanaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke dalam kurikulum sekolah.
Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah. Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu :
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada tahun 1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu, pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang, pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk mengatasi dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan 1975 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integratif
3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon dan latihan.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang menampilkan empat profil, yaitu :
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk pendidikan IPS khusus.
2. Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep peyung untuk sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
4. Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA /SMK..
Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam aktualisasi materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai materi pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam :
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan ekonomi koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I-II; Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta, yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP, STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru juga harus menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat diidentifikasi sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
1. Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2. Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
3. Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4. Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7. Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS), namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau mata pelajaran PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic education . IPS (social studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia terus melakukan beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu sosial di tingkat sekolah melalui seminar dan lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya, terutama oleh kelompok pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial Indonesia) dalam kongresnya di beberapa tempat di Indonesia.

(ditulis oleh Dr. H. Pargito, M.Pd pada http://blog.unila.ac.id/pargito/2010/08/30/perkembangan-pendidikan-ips/)

Soal-soal:

1. Uraiakan secara singkat perkembangan IPS di Inggris dan Amerika?
2. Bagaimanakah perkembangan IPS di Indonesia?

IV. Peranan IPS

Secara umum tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).

1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.

2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan
untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.

4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu
membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.

5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.

(http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/07/model-ips-terpadu-smp.pdf)

Sedangkan pendidikan IPS di SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan:

1. Mengenal konsep - konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya.

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai - nilai sosial dan
kemanusiaan.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
(http://yatna234.blogspot.com/search?updated-min)

Soal:
1. Sebutkan tujuan utama IPS!
2. Apakah tujuan pembelajaran IPS di SD?

Tambahan:

Menurut Oemar Hamalik (1992:28), fungsi utama pengajaran IPS adalah
memperkenalkan pengalaman sosial kepada siswa. Sebelum masuk sekolah anakanak
telah mempunyai bermacam-macam pengalaman yang diperolehnya dari rumah
(lingkungan keluarga). Mereka telah diberikan teori, cara, dan pemahaman secara
sederhana tentang hubungan antar manusia. Di sekolah mereka mempunyai
kesempatan yang baik untuk berhubungan dengan teman-temannya. Mereka belajar
tentang keluarga, keagamaan, negara dan sebagainya. Pengalaman sosial juga harus
mencakup pelajaran tentang bagaimana cara belajar, tekniknya, dan prosedurnya.
Tentu saja hal ini akan berkaitan dengan membaca, menulis, dan menemukan bahan4
bahan pelajaran yang relevan. Berhasil-tidaknya siswa belajar dalam bidang studi IPS
tergantung pada kemampuan siswa dan keahlian guru dalam memberikan bimbingan.
Naifnya, pengajaran di Indonesia hanya berpedoman pada sebuah kurikulum yang
menuntut inteligensi tinggi sehingga sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam
belajar karena tidak ada sekolah yang sesuai dengan kemampuan intelektual mereka
(Drost, 2002:1) (diambil dari http://www.damandiri.or.id/file/muismanikipsingarajabab1.pdf)

Soal tambahan:
3. Apakah fungsi utama pengajaran IPS menurut Oemar Hamalik?

=======================
Sumber-sumber lain yang bagus untuk dibaca (lihat di http://silabus.upi.edu/index.php?link=detail&code=PIS611:
Banks, James A. (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York & London : Longman.
Depdikbud. (1993) Kurikulum 1994 : Landasan Program Pengembangan. Jakarta : Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan.
Depdikbud. (2003) Kurikulum 2004 : Landasan Program Pengembangan. Jakarta : Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan.
NCSS. (1999). Social Studies for Early Childhood and Elementary School Children Preparing for the 21st Century. Available at [online] http://www.socialstudies.org
--------- (2000). Ideas on Teaching. Available at [online] http://www.ou.edu/idp/ideas.html
--------- (1995). Social Studies : a Curriculum Guide for the Elementary Level. Available at [online] http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/elemsoc/elemsoc.html
--------- (1995). Instructional Approaches : a Framework for Professional Practice. Available at [online] http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/policy/approach/index.html
--------- (1995). Understanding the Common Essential Learnings : a Handbook for Teachers. Available at [online] http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/policy/cels/index.html

Jurnal :
Teaching Resource K Though 12
http://www.openhere.com/edu/k-through-12/educators/teaching-resources/
Technology in Elementary and Middle School
http://slis-two.lis.fsu.edu/~harry/wwwsites.html
AERA, Research on Teaching
http://www.aera.net/
Harvard Educational Review
http://gseweb.harvard.edu/~hepg/her.html
Teaching and Learning on the Net
http://carbon.cudenver.edu/~mryder/itc_data/net_teach.html