Senin, 15 November 2010

EVALUASI PENGAJARAN

EVALUASI PENGAJARAN


I. DEFINISI
Apa yang anda ketahui tentang istilah Evaluasi? Mungkin anda akan menjawab evaluasi sama dengan penilaian atau memikirkan dan mengkaji kembali. Pernahkan anda melakukan Evaluasi? Tentu jawabanya masih ngambang. Sebagai mahasiswa keguruan anda mungkin akan menjawab saya tidak pernah melalukan evaluasi karena yang ada dibenak anda adalah evaluasi yang berkaitan dengan evaluasi pengajaran. Jawaban anda sesungguhnya keliru sebab dalam setiap kegiatan yang kita lalakukan setiap hari, kita selalu melakukan evaluasi. Evaluasi yang kita lakukan bisa seperti contoh berikut. Ketika anda hendak pergi kuliah, di depan cermin anda memperhatikan pakaian yang anda pakai- kemudian mungkin anda merasa tidak senang dengan pakaian tersebut dan anda memutuskan untuk mengganti dengan pakaian yang lain. Anda sesungguhnya telah melakukan proses evaluasi.

Evaluasi secara luas didefinisikan sebagai suatu proses merencanakan, memperoleh dan menyediakan informasi-informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan (Mehrens & Lehmann, 1978). Dalam melakukan evaluasi ada proses yang sengaja direncanakan. Ini berarti bahwa setiap kegiatan yang dilakukan harus dilakukan dengan proses planning lebih dahulu. Dari proses perencanaan tersebut kita memperoleh berbagai informasi dan dengan ketersediaan informasi tersebut kita bisa mengambil keputusan. Contoh nyata evaluasi yang biasa manusia lakukan adalah ketika mencari pasangan hidup. Suatu saat dia memutuskan untuk hidup bersama pasangan setelah melakukan proses evaluasi. Namun terkadang keputusan yang dia ambil bisa saja salah. Selang setahun atau dua tahun membina rumah tangga, dia bercerai karena tidak cocok. Mengapa hal itu bisa terjadi? Ini bisa disebabkan karena dia tidak melakukan evaluasi secara maksimal. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita ketika melakukan suatu kegiatan kita harus melakukan evaluasi secara komprehensif dan berkualitas agar keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang benar- bukan seperti contoh kasus diatas.

Lalu apakah yang dimaksud dengan Evaluasi Pengajaran? Menurut Norman E. Grondlund (1976) Evaluation… is a systematic process of determining the extent to which instructionsl objectives are achieved by pupils ( suatu proses yang sistematis dalam menetukan sejauh mana tujuan-tujuan pembelajaran telah dicapai oleh peserta didik. Berdasarkan definisi ini, ada tiga aspek penting dalam evaluasi pengajaran. Pertama adalah suatu proses yang sistematis. Ini artinya bahwa seorang guru dalam melakukan evaluasi harus ingat bahwa dia harus merencanakan evaluasi pengajarannya dengan baik dan evaluasi hendaknya dilakukan secara berkesinambungan. Evalausi tidak hanya dilakukan pada akhir program pembelajaran atau diakhir semester, tetapi semenjak dia melakukan proses pembelajaran pertama dalam satu semester. Guru harus mengevaluasi baik itu kognitif dan afektif maupun psikomotor peserta didik.

kalau kita mengacu pada apa yang ditulis oleh King Barry dalam bukunya " Beginnning Teaching" (2000), maka kita akan paham bahwa siklus tugas utama guru sebagai pengajar ada 3 (tiga); yaitu Planning (perencanaan), Teaching (pengajaran) dan Evaluation (evaluasi). Ketiga siklus ini saling terkait , artinya teaching dan evaluation tidak boleh terlepas dari planning yang guru lakukan. Keterkaitan tersebut digambarkan pada contoh berikut;

Diawal tahun pelajaran baru atau awal semester seorang guru diharuskan membuat Planning. Planning sangat penting bagi pelaksanaan tugas guru. Barry bahkan menulis "Teaching without planning is nonesense- mengajar tanpa persiapan adalah omong kosong". Dalam tahapan ini tugas guru adalah antara lain mengkaji SK dan KD mata pelajaran yang dibinanya, kemudian menyusun silabus dan RPP.Bagaimana hubungannya dengan evaluasi?

SK dan KD yang tertuang dalam silabus dan RPP harus ditentukan dulu KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Contoh seorang guru IPS ingin mengajar Macam-macam Kebutuhan Manusia, maka untuk materi ini dia harus melakukan analisis KKM. Adapun cara menganalisis KKM adalah sebagai berikut. Pertama, dilihat KOMPLEKSITAS materi yang akan diajarkan. Untuk kompleksitas, bila materi tersebut sulit diberi skor 1 (atau pakai puluhan, 50-64), sedang 2 (65-80), dan mudah 3 (81-100). Kedua, dilihat DAYA DUKUNG, yaitu ketersedian sarana dan prasarana serta kompetensi guru, yang apabila tidak memadai diberi skor 1 (atau puluhan seperti diatas), cukup memadai 2, dan memadai 3. Ketiga, dilihat INTAKE yaitu kemampuan siswa. Bila kemampunan siswa dirasa kurang bisa untuk memahami materi diberikan skor 1 (atau puluhan seperti diatas), cukup bisa 2, bisa 3.

Untuk perhitungan dengan satuan (1,2,3), caranya adalah skor perolehan dibagi skor maksimal dibagi 100, sedangkan untuk puluhan dijumlahkan ketiga krireia KKM kemudian dibagi 3. Contoh, untuk materi diatas tadi: Kompleksitas diberi skor 3 karena materi tersebut tidak terlalu sulit, Daya dukung 2 karena cukup memadai, dan Intake 2 karena kemampun siswa dirasa cukup untuk memahami materi tersebut. Sehingga, 3+2+2:9X100= 78. Jadi berdasarkan analisis yang dilakukan KKM untuk materi tersebut diatas adalah 78.

...... dst masih disambung.....

Soal:
1. Baigamanakah definisi evaluasi secara umum/luas?
2. Apakah definisi evaluasi pengajaran menurut Norman E. Grondlund?
3. Evaluasi pengajaran harus dilakukan melalui proses yang sistimatis. Uraikanlah maksud pernyataan tersebut!

Aspek yang kedua adalah diperlukannya berbagai data atau informasi. Dalam mengevaluasi peserta didik, seorang guru membutuhkan berbagai macam bentuk informasi atau data, seperti bentuk-bentuk ranah penilaian Bloom yang meliputi Kognitif, Afektif, dan Psikomotor. Ketiga ranah ini harus menjadi titik fokus evaluasi guru. Terkait ranah Kognitif, seorang guru menilai tentang daya pikir siswa atau kemampuan ingatan siswa. Ini berarti setelah dilakuakannya proses pembelajaran dalam waktu tertentu, guru memberikan tes terkait dengan materi pelajaran. Bentuk-bentuk penilaian ranah ini bisa berbentuk ulangan harian, mid-semester, maupun ulangan akhir semester. Ranah Afektif berhubungan dengan perilaku dan keaktifan siswa. Sedangkan Psikomotor terkait dengan penilaian praktek atau apa yang diistilahkan dalam KTSP sebagai Unjuk Kerja. Aspek yang ketiga adalah berdasarkan tujuan pembelajaran. Evaluasi yang dilakukan oleh seorang guru harus selalu berdasarkan Tujuan Pembelajaran yang biasanya tertuang dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang disusun oleh guru.

Soal:
1. Bagaimanakah pendapat anda jika guru mengevaluasi siswa hanya berdasarkan kemampuan ingatan siswa saja?
2. Dalam melakukan Evaluasi, prinsip yang juga harus dingat adalah evaluasi hendaknya selalu berdasarkan tujuan pembelajaran. Apakah maksud pernytaaan tersebut?

(Bersambung)




Bacaan Tambahan

Penilaian dalam KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam melakukan pembelajaran menerapkan pendekatan pembelajaran tuntas (mastery learning). Sedangkan dalam penilaian menerapkan sistem penilian berkelanjutan yang mencakup 3 aspek yaitu aspek kognitif, psikomotorik dan afektif
Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu; ranah kognitif, psikomotor dan afektif Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap mata ajar selalu mengandung ketiga ranah tersebut, namun penekanannya selalu berbeda. Mata ajar praktek lebih menekankan pada ranah psikomotor, sedangkan mata ajar pemahaman konsep lebih menekankan pada ranah kognitif. Namun kedua ranah tersebut mengandung ranah afektif
Menurut Bloom (1979) ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yangpencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan akti vitas fisik, misalnya; menulis, memukul, melompat dan lain sebagainya.
Ranah kognitifberhubungan erat dengan kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, rnemahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi. Sedangkan ranah afektif mencakup watakperilaku seperti sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.
Penilaian Aspek Kognitif
Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu ranah kognitif, psikomotor dan afektif. Secara eksplisist ketiga aspek tersebut tidak dipisahkan satu sama lain. Apapun jenis mata ajarnya selalu mengandung tiga aspek tersebut namun memiliki penekanan yang berbeda. Untuk aspek kognitif lebih menekankan pada teori, aspek psikomotor menekankan pada praktek dan kedua aspek tersebut selalu mengandung aspek afektif
Aspek kognitifberhubungan dengan kemampuan berfikir termasuk di dalamnya kemampuan memahami, menghapal, mengaplikasi, menganalisis, mensistesis dan kemampuan mengevaluasi. Menurut Taksonomi Bloom (Sax 1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarkis yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi
Pada tingkat pengetahuan, peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan hapalan saja. Pada tingkat pemahaman peserta didik dituntut juntuk menyatakanmasalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contohsiiatu konsep atau prinsip. Pada tingkat aplikasi, peserta didik dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam situasi yang baru. Pada tingkat analisis, peserta didik diminta untuk untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan asumsi, memebedakan fakta dan pendapat serta menemukan hubungan sebab—akibat. Pada tingkat sintesis, peserta didik dituntut untuk menghasilkan suatu cerita, komposisi, hipotesis atau teorinya sendiri dan mensintesiskan pengetahuannya. Pada tingkat evaluasi, peserta didik mengevaluasi informasi seperti bukti, sejarah, editorial, teori-teori yang termasuk di dalamnya judgement terhadap hasil analisis untuk membuat kebijakan.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yangmengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
Aspek kognitif terdiri atas enam tingkatan dengan aspek belajar yang
berbeda-beda. Keenam tingkat tersebut yaitu: . ,.
1. Tingkat pengetahuan (knowledge), pada tahap ini menuntut siswa untuk
mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima
sebelumnya, misalnya fakta, rumus, terminologi strategi problem
solving dan lain sebagianya.
2. Tingkat pemahaman (comprehension), pada tahap ini kategori pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelaskan
pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri.
Pada tahap ini peserta didik diharapkan menerjemahkan atau
menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.
3.Tingkat penerapan (application), penerapan merupakan kemampuan
untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke
dalam situasi yang baru, serta memecahlcan berbagai masalah yang timbul
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Tingkat analisis (analysis), analisis merupakan kemampuan
mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen
atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau
kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada
atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat ini peserta didik diharapkan
menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara
membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur
yang telah dipelajari.
5. Tingkat sintesis (synthesis’), sintesis merupakan kemampuan seseorang
dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur
pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih
menyeluruh.
6. Tingkat evaluasi (evaluation), evaluasi merupakan level tertinggi yang
mengharapkan peserta didik mampu membuat penilaian dan keputusan
tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan
menggunakan kriteria tertentu.
Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih baik.
Maka apabila bahan ajar telah diajarkan secara lengkap sesuai dengan program yang telah ditetapkan maka membuat alat penilaian (soal) dengan formulasi perbandingan sebagai berikut:
1.soal yang menguji tingkat pengetahuan peserta didik : 40%
2. soal yang menguji tingkat pemahaman peserta didik : 20%
3.soal yang menguji tingkat kemampuan dalam penerapan pengetahuan : 20%
4. soal yang menguji tingkat kemampuan dalam analisis peserta didik .: 10%
5.soal yang menguji tingkat kemampuan sintesis peserta didik : 5%
6.soal yang menguji kemampuan petatar dalam mengevaluasi : 5%
Total formulas! soal untuk satu kali ujian yaitu: 100%
Dengan menggunakan formulasi perbandingan soal di atas mempermudahseorang guru untuk memperjelas cara berfikirnya dan untuk memilih pertanyaan-pertanyaan (soal-soal) yang akan diujikan, selain itu juga dapat membantu seorang guru agar terhindar dari kekeliruan dalam membuat soal.
Seorang guru dituntut mendesain program/rencana pembelajaran termasuk di dalamnya rencana penilaian (tes) diantaranya membuat soal-soal berdasarkan kisi-kisi soal dan komposisi yang telah ditetapkan.
Bentuk tes kognitif diantaranya; (1) tes atau pertanyaan lisan di kelas, (2) pilihan ganda, (3) uraian obyektif, (4) uraian non obyektif atau uraian bebas, (5) jawaban atau isian singkat, (6) menjodohkan, (7) portopolio dan (8) performans.

(Sumber: http://massofa.wordpress.com/2008/08/04/aspek-penilaian-dalam-ktsp-bag-1-aspek-kognitif/)

Sabtu, 23 Oktober 2010

STRUCTURE 2

Course : Structure 2
Code :
Credit : 2 SKS
Lecturer :
Course Description
Grammar 2, as the continuation of Grammar 1, focuses on deeper discussion on Parts of Speech such as verbs and auxiliaries, noun and determiners, pronouns, adjectives, and adverbs. To ensure understanding, students are given routine exercises as available in student’s workbook. Correction on student’s work becomes feedback for their self-development.

Course Objectives
Upon completing this subject, students are expected to be able to:
1. differentiate between verbs and auxiliaries;
2. use the semantic of the verb phrase in their daily activities;
3. differentiate adjectives from adverbs and how they are formed;
4. recognize preposition and prepositional phrase

Course Requirements
Students are required to have at least 80% attendance, complete all assignments, and actively participate in the classroom discussion.

Grading Policy
Scores are drawn from attendance, assignment, mid-test, and final test in equal proportion.

Tentative Schedule
Session Topics
1 Review of the previous material
2 Verbs and auxiliaries 1
3 Verbs and auxiliaries 2
4 The semantic of the verb phrase 1
5 The semantic of the verb phrase 2
6 Nouns and determiners 1
7 Nouns and determiners 2
8 Midterm test
9 Pronouns 1
0 Pronouns 2
11 Adjectives
12 Adverbs
13 The semantic and grammar of adverbials
14 Preposition
15 Prepositional phrase
16 Final test


References:
Azar, B. S., & Hagen, S. A. (2006). Basic English Grammar (3rd Edition). Pearson Education: New York.
Butt, David. (1995). Using Functional Grammar: An Explorer’s Guide. Sidney: Australia.
Greenbaum, Sidney and Randolph Quirk. (1990). A Student’s Grammar of the English Language. Longman:. England
Murphy, Raymond. (1988). English Grammar in Use. Cambridge University Press.
Salahuddin (2010). The Book of English Grammar. STKIP Taman Siswa: Bima

Minggu, 17 Oktober 2010

PROFESI KEPENDIDIKAN

Kompetensi Yang Ingin Dicapai:

Mahasiswa mampu memahami, menganalisa, mengaktualisasikan bahw pendidikan merupakan suatu proses yang mulia serta dapat memberikan bimbingan terutama dalam administrasi sekolah, kode etik guru dan penerapannya.

Materi Pembelajaran
1. Wawasan profesi
2. BK
3. Administrasi Pendidikan
4. Ketatausahaan Sekolah
5. Kode Etik Guru
6. Aplikasi Profesi Guru
===========

I. Wawasan Profesi Kependidikan

Salah satu definisi Profesi adalah "Jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (Expertice) dari para anggotanya" (Satori dkk, 2009). Berdasarkan definisi ini tergambar jelas bahwa sebuah jabatan hendaklah diduduki oleh orang-orang yang memang punya keahlian pada posisi tersebut. Muncul sebuah pertanyaan kemudian, apakah boleh jika disuatu daerah ada jabatan kepala camat dijabat oleh seorang guru?.Jawabannya jelas TIDAK. (Masih akan dilanjutkan.......)

(Akan segera di isi.....)

Jumat, 15 Oktober 2010

PENGANTAR ILMU SOSIAL

Materi Pembelajaran

1. Pengertian Dasar IPS
2. Karakteristik IPS
3. Sejarah Singkat Perkembangan IPS
4. Fungsi Pengajaran IPS di Sekolah
5. Peranan Pengajaran IPS dalam pembangunan Masyarakat
6. IPS dan Modernisasi
7. Ilmu-ilmu Sosial Komponen dari IPS
8. Ilmu-ilmu Penggetahuan Penunjang IPS
9. Kurikulum dan IPS

======

I. PENGERTIAN IPS

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang dalam bahasa Inggris disebut Social Studies,memiliki banyak definisi. National Council for Social Studies (NCSS) (1993), memberikan definisi sebagai berikut:

Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program,social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an interdependent world. (Ilmu pengetahuan sosial adalah studi terintegrasi tentang ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk membentuk warganegara yang baik/ berkompeten. Program IPS di sekolah merupakan gambaran kajian sistematis dan koordinatif dari disiplin ilmu-ilmu sosial seperti antrophology, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu pengetahuan politis, psikologi, agama, dan sosiology, juga yang bersumber dari humaniora, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan utama dari ilmu pengetahuan sosial adalah untuk membantu generasi muda mengembangkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan yang beralasan dan sebagai warganegara yang bertanggungjawab pada suatu masyarakat yang berbeda budaya,masyarakat democratic dunia yang saling tergantung).

Berikut beberapa definisi yang lain:

1.The social studies is an integration of experience and knowledge concerning human relations for the purpose of citizenship education (Barr, 1977: 69) (Studi sosial adalah satu pengintegrasian pengalaman dan pengetahuan mengenai hubungan antar manusia untuk tujuan pendidikan kewarganegaraan )

2.The social studies is that part of the elementary and high school curriculum wich has the primary responsibility for helping students to develop the knowledge, skills, attitudes, and values needed to participate in the civic life of their local communities, the nation, and the world (Banks, 1990:3) (Ilmu pengetahuan sosial adalah bagian dari kurikulum SD dan sekolah menengah yang mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu para siswa untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengambil bagian di dalam kehidupannnya sebagai warganegara atau warga masyarakat-masyarakat di tingkat lokal, nasional, dan dunia)

3. Social studies is an area of the curriculum deriving its goals from the nature of citizenship in a democratic society with links to other societies. Drawing its content from the social sciences and other disciplines, it also incorporates the personal and social experiences of students and their cultural heritage. It links factors outside the individual, such as cultural heritage, with factors inside the individual, particularly the development and use of reflective thinking, problem solving, and rational decision making skills, for the purpose of creating involvement in social action (Cynthia Szymanski Sunal, Mary E Haas: 1993: 7) (Ilmu pengetahuan sosial adalah satu bagian kurikulum yang bersumber dari sifat kewarganegaraan di suatu masyarakat yang demokratis dalam kaitannya dengan masyarakat yang lain. Isi nya terdiri dari ilmu-ilmu sosial dan disiplin-disiplin lain, serta pengalaman-pengalaman sosial dan pribadi dari para siswa dan warisan budaya mereka. hubungan faktor-faktor di luar individu itu, seperti warisan budaya, faktor-faktor pengalaman diri siswa, terutama sekali dalam rangka pengembangan dan penggunaan pemikiran yang cemerlang, pemecahan masalah, dan ketrampilan membuat keputusan rasional, untuk tujuan menciptakan keterlibatan di dalam tindakan sosial)
Memperhatikan beberapa definisi IPS (social studies) tersebut di atas, sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara pada umunya, bahwa pengertian pendidikan IPS kadang terjadi perbedaan penafsiran oleh para ahli ilmu-ilmu sosial dan ahli IPS (studi sosial), serta ahli pendidikan pada umumnya. Akan tetapi beberapa penafisiran tersebut masih dapat di tarik kesamaan sehingga definisi pendidikan IPS yang lazim di Indonesia yaitu:

1.Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan pendidikan (Somantri, 2001: 92).

2.Pendidikan IPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan pendidikan (Somantri, 2001: 92).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan sosial merupakan suatu program pendidikan yang mengintegrasikan konsep-konsep ilmu sosial dan humaniora untuk tujuan pendidikan (membentuk warga negara yang memiliki kompetensi sosial baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara atau warga dunia. Melalui pendidikan IPS diharapkan dapat membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan sosial, humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran sosial di lingkungannya, serta memiliki ketrampilan dalam mengkaji dan memecahkan masalah sosial dalam kehidupannya, sehingga akhirnya diharapkan dapat menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab.


II. Karakteristik IPS

Pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah kelas 1 s/d 12, mungkin lebih sulit dalam pembelajarannya ketimbang yang monodisiplin seperti membelajarkan sejarah, geografi, ekonomi dsb. Karena membelajarkan IPS harus multisiplin dan interdisiplin, dan apalagi ini diajarkan sebagai mata pelajaran pada suatu kelas yang di dalamnya terdiri dari banyak bidang sosial. Akan tetapi harus disadari bahwa mengajar di tingkat sekolah tidak semendalam kalau mengajar mahasiswa. Contoh guru SD mengajar semua mata pelajaran dalam satu kelas, tetapi mereka mengajar tidak seperti mengajarkan materi untuk mahasiswa, bahan itu harus sesederhana mungkin untuk kepentingan usia peserta didik. Oleh karenanya untuk kelas tinggi (SMA) penyajiannya bisa secara separate discipline-based class dalam suatu jurusan (IPS), dengan tetap saling memperhatikan keterkaitannya, sehingga IPS tetap dapat dipahami dengan baik.
Ada dua karakteritik utama IPS, yaitu sebagai bidang kajian penelitian yang ditujukan untuk membentuk warga negara yang baik, dan kajian terpadu terhadap banyak penelitian. Akan tetapi secara rinci karekateristik pendidikan IPS menurut Banks (1990) adalah sebagai berikut:

1.social studies programs have as a major purpose the promotion of civic competence which is the knowledge, skills, and attitude required of students to be able to assume ”the office of citizen” (as Thomas Jefferson called it) in our democratic republic.( Program pendidikan IPS mempunyai tujuan utama membentuk warga negara yang memiliki pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, dan sikap yang dibutuhkan siswa dalam suatu masyarakat yang demokratis.)

2.social studies programs help students construct a knowledge base and attitude drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality.( Program pendidikan IPS membantu siswa dalam mengkonstruk pengetahuan dan sikap dari disiplin akademik sebagai suatu pengalaman khusus ).

3.social studes programs reflect the changing nature of knowledge, fostering, entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity.( Program pendidikan IPS mencerminkan perubahan pengetahuan, mengembangkan sesuatu yang baru dan menggunakan pendekatan terintegrasi untuk memecahkan isu secara manusiawi.).

(Diambil dari http://blog.unila.ac.id/pargito/2010/08/04/dasar-dasar-pendidikan-ips/)

Soal-soal:

1. Uraikan definisi ilmu pengetahuan sosial!
2. Apakah istilah bahasa Inggris dari Ilmu Pengetahuan Sosial?
3. Bagaimanakah pendapat anda mengenai pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial menurut Banks (1990) bila dikaitkan dengan realita kehidupan di sekitar anda?
4. Apakah yang menjadi karakteristik utama dari IPS jika dibandingan dengan ilmu-ilmu yang lain?

III. Sejarah Perkembangan IPS

Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Alasan dimasukannya social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai negara di belahan dunia juga terjadi, di antaranya perubahan perilaku manusia akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menjadikan bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang kompleks. Para ahli ilmu sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses negatif yang mungkin timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya dibutuhkan kemajuan ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga dapat dilakukan melalui pendekatan program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline) di tingkat sekolah merupakan salah satu pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam rangka membentuk perilaku sosial siswa ke arah yang diharapkan. Bahkan program pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi dan transformasi pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan sumberdaya manusia yang siap menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin komplek di masa datang.
Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda. Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut. Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran social studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah karena kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan program pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies. Agar materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of 1896-1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik). Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS (social studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on Social studies” yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social studies, dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas. Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program,social studies provides coordinated,systematic study drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an interdependent world.
Memandang perlunya pendidikan IPS bagi setiap warga negara Apresiasi terhadap social studies (pendidikan IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di Amerika, Inggris, dan berbagai negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di Australia dan Asia termasuk Indonesia.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia juga hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan pertentangan politik bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat rentan terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya di pandang perlu memasukan program pendidikan sebagai propaganda dan penanaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke dalam kurikulum sekolah.
Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah. Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu :
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada tahun 1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu, pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang, pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk mengatasi dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan 1975 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integratif
3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon dan latihan.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang menampilkan empat profil, yaitu :
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk pendidikan IPS khusus.
2. Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep peyung untuk sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
4. Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA /SMK..
Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam aktualisasi materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai materi pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam :
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan ekonomi koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I-II; Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta, yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP, STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru juga harus menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat diidentifikasi sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
1. Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2. Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
3. Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4. Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7. Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS), namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau mata pelajaran PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic education . IPS (social studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia terus melakukan beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu sosial di tingkat sekolah melalui seminar dan lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya, terutama oleh kelompok pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial Indonesia) dalam kongresnya di beberapa tempat di Indonesia.

(ditulis oleh Dr. H. Pargito, M.Pd pada http://blog.unila.ac.id/pargito/2010/08/30/perkembangan-pendidikan-ips/)

Soal-soal:

1. Uraiakan secara singkat perkembangan IPS di Inggris dan Amerika?
2. Bagaimanakah perkembangan IPS di Indonesia?

IV. Peranan IPS

Secara umum tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).

1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.

2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan
untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.

4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu
membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.

5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.

(http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/07/model-ips-terpadu-smp.pdf)

Sedangkan pendidikan IPS di SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan:

1. Mengenal konsep - konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya.

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai - nilai sosial dan
kemanusiaan.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
(http://yatna234.blogspot.com/search?updated-min)

Soal:
1. Sebutkan tujuan utama IPS!
2. Apakah tujuan pembelajaran IPS di SD?

Tambahan:

Menurut Oemar Hamalik (1992:28), fungsi utama pengajaran IPS adalah
memperkenalkan pengalaman sosial kepada siswa. Sebelum masuk sekolah anakanak
telah mempunyai bermacam-macam pengalaman yang diperolehnya dari rumah
(lingkungan keluarga). Mereka telah diberikan teori, cara, dan pemahaman secara
sederhana tentang hubungan antar manusia. Di sekolah mereka mempunyai
kesempatan yang baik untuk berhubungan dengan teman-temannya. Mereka belajar
tentang keluarga, keagamaan, negara dan sebagainya. Pengalaman sosial juga harus
mencakup pelajaran tentang bagaimana cara belajar, tekniknya, dan prosedurnya.
Tentu saja hal ini akan berkaitan dengan membaca, menulis, dan menemukan bahan4
bahan pelajaran yang relevan. Berhasil-tidaknya siswa belajar dalam bidang studi IPS
tergantung pada kemampuan siswa dan keahlian guru dalam memberikan bimbingan.
Naifnya, pengajaran di Indonesia hanya berpedoman pada sebuah kurikulum yang
menuntut inteligensi tinggi sehingga sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam
belajar karena tidak ada sekolah yang sesuai dengan kemampuan intelektual mereka
(Drost, 2002:1) (diambil dari http://www.damandiri.or.id/file/muismanikipsingarajabab1.pdf)

Soal tambahan:
3. Apakah fungsi utama pengajaran IPS menurut Oemar Hamalik?

=======================
Sumber-sumber lain yang bagus untuk dibaca (lihat di http://silabus.upi.edu/index.php?link=detail&code=PIS611:
Banks, James A. (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York & London : Longman.
Depdikbud. (1993) Kurikulum 1994 : Landasan Program Pengembangan. Jakarta : Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan.
Depdikbud. (2003) Kurikulum 2004 : Landasan Program Pengembangan. Jakarta : Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan.
NCSS. (1999). Social Studies for Early Childhood and Elementary School Children Preparing for the 21st Century. Available at [online] http://www.socialstudies.org
--------- (2000). Ideas on Teaching. Available at [online] http://www.ou.edu/idp/ideas.html
--------- (1995). Social Studies : a Curriculum Guide for the Elementary Level. Available at [online] http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/elemsoc/elemsoc.html
--------- (1995). Instructional Approaches : a Framework for Professional Practice. Available at [online] http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/policy/approach/index.html
--------- (1995). Understanding the Common Essential Learnings : a Handbook for Teachers. Available at [online] http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/policy/cels/index.html

Jurnal :
Teaching Resource K Though 12
http://www.openhere.com/edu/k-through-12/educators/teaching-resources/
Technology in Elementary and Middle School
http://slis-two.lis.fsu.edu/~harry/wwwsites.html
AERA, Research on Teaching
http://www.aera.net/
Harvard Educational Review
http://gseweb.harvard.edu/~hepg/her.html
Teaching and Learning on the Net
http://carbon.cudenver.edu/~mryder/itc_data/net_teach.html

Senin, 26 Juli 2010

Improving SMPN 25 Bima capacity in responding effectively to changes in external contexts


Salahuddin

Master of Education (Leadership and Management), Flinders University

Introduction

In recent years schools organisations are facing great pressures from external contexts. SMPN 25 Bima, an Indonesian secondary junior school which is located in West Nusa Tenggara province, has the same challenge. The notion of competing with other schools and public enquiry to be accountable for the result of students’ outcomes has pushed the school to improve their capacity. Indeed, parents, school boards members, and local government are now demanding that the school to attain higher levels of scrutiny concerning the quality of education. Parents are pressing SMPN 25 Bima to take the responsibility for educating their children. In particular, parents and community have compelling interest in ensuring at least basic student learning and show their effectiveness in creating desirable outcomes and actions

The presence of the above mentioned pressures are underpinned by the fact that students’ achievement is below the national standard. This can be seen from the result of the national final examination where the average is ten percent below the national standard. Failing to meet the national standard is coupled with the complaints from some parents that their children have poor literacy and numeracy skills. It is contended that the primary reason of those failures deals with teachers’ motivation and work climate within the school. Having observed the current condition, teachers have low motivation which effect negatively to their job satisfaction and the work climate is unconducive where individual has no willingness to share knowledge and skills to each other. In fact, these circumstances have led to the poor attainment of the students.

Given the central importance of improving the organisational capability, SMPN 25 is encouraged to strategically take necessary steps so that the fundamental objectives of increasing students’ achievements can be obtained. In pursuit to improving SMPN 25 Bima capacity, two frameworks from Shafritz, Ott & Jang (2005) are considered to be used as fundamental basis. The first is The economy of Incentives by Chester I. Barnard (1938). Bernard’s work is viewed as an important guideline in increasing job satisfaction of teaching and administrative staffs at SMPN 25 Bima. This framework can be used as a basis for a short-term goal in increasing students’ outcomes. The second framework is Changing organisational cultures which is written by Harrison M. Trice and Janice M. Beyer (1993). Trice and Beyer’s framework is viewed as an essential and suitable standpoint in managing culture at SMPN 25 Bima. This is aiming at enhancing positive work climate within the organisation. Trice and Beyer’s work will be planned as the basis for long term objective in improving students’ achievement.

Jumat, 25 Desember 2009

ARTICLE REVIEW Quantitative assessment of a Senge learning organization1 ----------------------------------------------------------------------------

“Leaders of twenty-first century organizations are searching for ways to improve the ability of their organizations to respond more rapidly to their challenges” (Kiedrowski, 2006).

In line with the above perspective, Kiedrowski in his article Quantitative assessment of a Senge learning organization proposed Senge’s model of learning organization (LO) to be implemented in organizations. Kiedrowski conducted research by intervening Senge LO at a single company, Bank ABC in Division 123. He found out that Senge LO positively associated with employees’ attitudes which led to positive impact of the performance of Bank ABC.

There are three main reasons why Kiedrowsky undertook his research. Firstly, He contended that Senge’s model of LO has been enormously favoured by many authors but lack of empirical investigation of LO intervention. Secondly, the author referred Ellinger’s et al. notice that establishing the associations between characteristic of LO and organisational performance is the major challenge found in literature. Lastly, there has not been research about the intervention of Senge LO in a single organization.

Kiedrowski conducted comprehensive quantitative assessment of Senge LO intervention in a division of a major US banking from 2000 to 2004. The subjects of the initial study were 1,547 employees in the Division 123 of Bank ABC and over 100,000 employees of the bank was treatened as the control group. The main purposes of the researcher are to investigate the impact of Senge LO to the improvement of employee acceptance of LO concepts and to figure out wether or not the acceptance increase job satisfaction.

_________________________________________________________________

1. Kiedrowski, P. J. (2006). Quantitative assessment of Senge learning organization intervention. The Learning Organization, 13(4),369-383. Retrieved on 18 July 2006, from www.emeraldinsight.com/0969-6474.htm.

The author reported that in 1998 Division 123 of Bank ABC acquired new six groups and expanded its products. This change led to poor profitability of the division and the author found out that the employee morale was low. Overall, based on survey undertaken in 2000 the employee job satisfaction was worse than the average for Bank ABC. To alter this condition, senior managers adopted a theory of organisational change: that was by advocating Senge’s concept of LO. After all preparations to implement Senge LO, they began to develop a shared statement of the division’s mission, vision, and values. Following they conducted training of the top 80 division managers in 2001, where all aspects of Senge LO: shared vision, mental models, personal mastery, team learning and systems thinking, were covered in the program. Survey conducted in summer 2002 revealed that positive changes in employee acceptance of Senge LO and employee job satisfaction occurred. However, some continuing weaknesses were identified. Then, they revised the division’s mission, vision, and values. In January 2003, the head of the division wrote an open memorandum to all division members describing the importance of learning and Senge LO. In the late of the year, the division developed a team member website to enhance communication among them.

The key findings of the research are: employees in Division 123 accepted Senge LO concept and their job satisfaction increased significantly. However, the study also revealed that there was no statistically difference in job satisfaction between the division and control group. The writer should have explored the reason why there was no difference in job satisfaction between the Division 123 with the control group in his study. Such analysis will be useful in determining the weaknesses in implementing Senge LO. Nevertheless, this article has put significant contribution to organizations that are searching concepts to be used to improve employee job satisfaction and morale. It is highly recommended for organisational leaders and students of leadership and management to read this article.

Minggu, 08 November 2009

Using Jumbled-letter Board (Jumbo) in teaching ESL vocabulary

Abstract

This proposed study is aiming at investigating the using Jumbled-letter Board (Jumbo) in the teaching of ESL vocabulary. Specifically the study will seek the effect of the Jumbo towards the students’ motivation in learning ESL vocabulary and to find out its effect towards students’ achievement in vocabulary test. The subjects of the research will be the seventh grade students of SMPN 25 Bima, a secondary school in Indonesia. The design of the study is Non-equivalent Posttest Only Design in which 35 students of class 1A are as the experimental group and 35 students of class 1B as the controlled group. Three data collection techniques will be applied in this study. They are observation sheet, questionnaire, and achievement test. Observation sheet and questionnaire are used to determine the association between the using of Jumbo towards students’ motivation while achievement test is implemented to examine the effect of Jumbo towards the students’ achievement in learning ESL vocabulary. Both data from observation sheet and questionnaire are going to be analyzed using Pearson Correlation Coefficient statistic whereas the test result of the two groups will be analyzed using a t-test statistic analysis. It is likely that there is positive association between the using of Jumbo and students’ motivation in learning ESL vocabulary and there is significant difference between the achievement of the students who are given treatment and students who do not receive the treatment.